Fatwa Ulama: Berdoa Bersama-sama Setelah Shalat Bid’ah Hukumnya


Seringnya kita saksikan setelah salat berjamaah, imam mempimpin doa bersama yang ditujukan untuk kebaikan kaum muslimin dan diamini oleh para jamaah, selanjutnya di akhiri dengan mengirim bacaan Al Fatihah. Kita mungkin tidak sadar jika perbuatan semacam ini tidak ada dasarnya dari agama. Apa jawaban ulama ketika ditanya mengenai hal ini? Berikut ini tanya jawab selengkapnya.

Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.

Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama.

Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.

Sumber :
Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)

http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=27

Satu tanggapan

  1. Mohon maaf, sekiranya kita bisa mentauladani para Imam Mazhab, bahwa perbedaan pemahaman adalah pasti terjadi, sehingga beliau-beliau tidak ada yang berani meng-klaim diri mereka (para Imam Mazhab) paling benar, dan orang yang tida sepaham lantas salah, apalagi dihukumi bid’ah, sesat, kafir.
    Padahal Pak Salih Fauzan, Pak Bin Baz, atau Pak Ibnu Taimiyah itu, para ulama yang hanya mengkompilir kitab-kitab para ulama terdahulu, yang belum tentu mencakup seluruh nara-sumber, sedangkan para Imam Mazhab dalam memahami agama banyak yang terkategori Tabi’in, dan Tabi’it-tabi’in, sehingga dalam mencari ilmunya langsung dari sumber aslinya.
    Tapi utamanya tidak ada yang punya keinginan benar sendiri, apalagi menghujat yang tidak sepaham.

Tinggalkan komentar