Bolehkah Menikah dengan Orang yang Beda Manhaj?


Menikah dengan Orang yang Beda Manhaj

Tanya:
Assalamu’alaikum ustadz, bagaimana hukumnya seseorang yang sudah mantap dengan manhaj salaf menikah dgn lain manhaj? Bagaimana hukumnya kita tidak mau menikah kecuali dengan yang semanhaj? Bagaimana kita tahu seseorang itu jodoh kita atau bukan?
Ida <mbakrida@gmail.com>

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mewajibkan atas setiap muslim dan muslimah untuk untuk selektif dalam memilih teman duduk dan teman bergaul, hendaknya dia hanya memilih teman yang baik agar agamanya tetap terjaga. Ini pada teman duduk, maka tentunya dalam memilih teman hidup itu harus lebih selektif dan hanya memilih yang betul-betul baik akidah dan manhajnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوْا إِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kalian disentuh oleh api neraka.”

Dan dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang masyhur, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memperumpamakan teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi yang bisa memberikan manfaat kepada orang di dekatnya, sedangkan teman duduk yang jelek bagaikan pandai besi yang bisa memudharatkan orang di dekatnya (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalil-dalil lain yang semisal dengannya.

Karenanya, seorang muslim yang baik akidah dan manhajnya hendaknya tidak menikah dengan muslimah yang tidak benar akidah dan manhajnya, demikian pula sebaliknya. Bahkan menikahnya seorang muslimah yang baik akidah dan manhajnya dengan muslim yang tidak benar akidah dan manhajnya adalah lebih parah dan lebih jelek akibatnya, karena biasanya istri akan mengikuti suaminya, sementara suaminya tidak berakidah yang benar. Karenanya, sikap untuk tidak mau menikah, kecuali dengan yang benar akidah dan manhajnya adalah sikap yang benar guna menjaga kehormatan dan agamanya.

Ada sebuah kisah disebutkan oleh para ulama mengenai seseorang yang bernama Imran Al-Haththan. Orang ini dahulunya adalah salah seorang ulama ahlussunnah, tetapi dia menikah dengan putri pamannya (sepupunya) yang mempunyai pemikiran khawarij, dia berdalih menikahinya agar dia bisa menasehati jika dia sudah jadi istrinya. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, dia yang dinasehati oleh istrinya hingga akhirnya dia keluar dari ahlussunnah menuju ke mazhab khawarij, bahkan disebutkan bahwa dia lebih ekstrim daripada istrinya dalam mazhab khawarij ini.

Maka lihatlah bagaimana seorang alim bisa terpengaruh oleh wanita yang notabene adalah istrinya sendiri, maka bagaimana sangkaanmu dengan seorang wanita yang tidak alim lalu menikah dengan lelaki yang tidak benar akidah dan manhajnya, tentunya potensi untuk dia tersesat dan mengikuti suaminya lebih besar, wallahul musta’an. Karenanya amalan seperti ini dijauhi, insya Allah masih banyak ikhwan/akhwat yang bagus akidah dan manhajnya, karenanya dia bersabar dan bertawakkal kepada Allah.

Adapun jodoh, maka dia adalah perkara ghaib karena dia termasuk dari takdir seseorang, dan tidak ada yang mengetahui apa takdirnya kecuali setelah terjadinya. Hanya saja mungkin dia bisa shalat istikharah guna menetapkan hatinya apakah calonnya bisa mendatangkan kebaikan bagi agama dan dunianya ataukah tidak, dia beristikharah kepada Allah dan bertawakkal kepadanya, wallahu a’lam.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=962#more-962

4 responses

  1. Bismillahir-Rahmanir-Rahim

    Memang betul, hati-hati terhadap istri dan anak-anak kita sendiri. Sebab mereka termasuk fitnah (ujian) bagi sang suami, atau yang mempertimbangkan akan menjadi suami. Wallahu a’lam.

    Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberitahukan kita bahwa kita harus berhati-hati dengan keluarga kita sendiri, menjaga mereka agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan, namun bisa jadi ada di antara anggota keluarga kita yang justru menjadi musuh bagi diri kita sendiri.

  2. bagaimana hukum nikah dengan berlainan agama

    Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab Yahudi atau Nashrani:
    وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ
    “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Al-Maidah: 5)
    Tapi tentu dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya yaitu pihak laki-laki benar-benar melakukannya untuk menjaga dari maksiat zina dan sejenisnya serta benar-benar menjauhi zina, kemudian pihak wanitanya juga demikian yaitu wanita yang menjaga diri dari perbuatan keji. Semua itu karena hikmah dan tujuan yang luhur dan itu sekilas tampak dari syarat-syarat tersebut. Dengan hikmah-Nya pula, Allah mengharamkan sebaliknya yakni seorang wanita muslimah dinikahi orang kafir siapa pun dia.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:
    وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
    “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke an-naar, sedang Allah mengajak ke al-jannah dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
    Dalam ayat itu terdapat dua larangan:
    1. Menikahi wanita musyrik.
    2. Menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki musyrik.
    Dan ahlul kitab itu termasuk musyrik berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah ayat 31:
    اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللَّهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
    “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Lihat Tafsir Adhwa-ul Bayan, 1/143)
    Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Saya tidak tahu ada syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah ‘Isa.”
    Namun, keumuman larangan yang pertama yakni menikahi wanita musyrik, telah diberi kekhususan yaitu bahwa wanita musyrik dari kalangan ahlul kitab dengan syarat-syaratnya boleh dinikahi lelaki muslim sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 5. Adapun larangan yang kedua maka itu tetap pada keumumannya. Sehingga lelaki siapapun baik dari Yahudi, Majusi, Nashrani dan yang lain maka haram menikahi seorang wanita muslimah. Ayat itu jelas dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) umat seperti kata Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini dan Al-Imam Asy-Syaukani.

  3. mantab dan jelas jawabnya…

  4. Bismillah , Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh ..
    Afwan, ana mau tnya ustadz .. ana seorang nahdliyin , dan org yang ta’aruf dengan ana adalah seorang muhammadiyah .. berbeda manhaj dan pemahaman .. bagaimana hukumnya , jika kami berdua menikah ,? Apakah kedepannya akan ada cekcok tentang perbedaan pemahaman .. mohon penjelasannya , syukron

Tinggalkan komentar