Poligami, Sunnah yang Diabaikan (bagian kedua)


Poligami

Jika mau jujur, sebagian besar kaum muslimin sekarang hanyut dalam kehidupan duniawi dan betapa jauhnya mereka meninggalkan tuntunan agama. Padahal dunia ini hanyalah kehidupan yang menipu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan…” (Al Hadiid: 20)

Dan masih di ayat yang sama, Allah berfirman, “…Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadiid: 20)

Dalam surat Al-Fathiir, Allahu ta’ala memperingatkan hambanya agar tidak teperdaya oleh silaunya dunia, “….maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Al Faathir: 5) 

Kaum muslimin telah jauh dari tuntunan agama yang benar sehingga tidak mengenal mana sunnah mana bid’ah. Betapa jauhnya kita dari bimbingan ilmu sehingga kadang (bahkan sering) kita menyangka sunnah sebagai bid’ah dan sebaliknya bid’ah disangka sunnah dan dikerjakan seakan-akan merupakan amalan shaleh dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wal’iyadzubillah.  

Salah satu sunnah yang yang disyariatkan oleh Allahu ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian diamalkan oleh para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama setelahnya adalah sunnah taaddud (poligami). Masyarakat sangat menentang sunnah ini, bahkan sebagian menolaknya dengan keras sehingga ketika ada orang yang mengamalkan sunnah ini dengan serta merta digunjingkan, dimusuhi, bahkan dihajr (diboikot atau dikucilkan) karena mereka mengira orang tersebut telah melakukan aib dan dosa yang besar. Padahal asal perintah Allah dalam hal menikah adalah untuk berpoligami, namun jika tidak mampu berlaku adil maka mendapat keringanan untuk menikahi 1 wanita saja dan budak yang dimiliki (ingat, budak akan ada sampai hari kiamat ketika ada perang yang syar’i). Sebagaimana dalam firman Allahu Ta’ala: …maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisaa’: 3)

Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed dalam Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, mengatakan dalam kaitan pembahasan ini bahwa  kaidah yang keempat dalam penerapan sunnah adalah “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh manusia meninggalkannya”. Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah ketiga, yang membimbing kita agar memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu, ketika manusia melupakan suatu sunnah, maka semestinya kita menghidupkannya agar manusia mengenalinya.  

Sunnah poligami adalah salah satu bukti tentang satu perkara sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, manusia akan mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebidahan atau bahkan lebih dari itu.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ”Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan disunnahkannya amalan tersebut. Karena mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardlu kifayah agar tidak hilang sedikit pun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 436)

Di dalam surat An-Nisaa’ ayat 3 yang telah disebutkan di atas merupakan dalil disyariatkannya poligami. Asy Syaikh Bin Baz mengatakan dalam Fatawa Al-Mar’ah 2/61 bahwa ayat tersebut menunjukkan disyariatkannya menikahi wanita dengan jumlah dua, tiga, atau empat karena hal tersebut lebih sempurna di dalam memelihara (bagi suami), baik terhadap syahwat maupun pandangan matanya. Juga karena hal tersebut merupakan sebab memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan wanita, berbuat baik kepada mereka, dan memberikan nafkah kepada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa wanita yang memiliki hak setengah dari suami (karena suami memiliki dua istri), atau sepertiga atau seperempat (karena ada 3 atau 4 istri), itu lebih baik daripada wanita yang tidak memiliki suami. Akan tetapi, dengan syarat harus ada keadilan dan kemampuan. Bagi yang khawatir tidak bisa berbuat adil, maka mencukupkan diri dengan satu istri bersama dengan budak perempuan yang dimiliki. Ini semua ditunjukkan dan diteaskan dengan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau ketika meninggal dunia masih memiliki 9 istri, sementara Allahu ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21) Namun, beliau telah menjelaskan kepada umatnya bahwa tidak boleh bagi seorang pun dari umatnya dalam satu waktu memiliki lebih dari 4 istri. Disimpulkan dari hal terebut bahwa meniru Nabi di sini dengan cara menikahi 4 istri atau kurang dari itu. Adapun lebih dari itu maka merupakan kekhususan bagi nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatwa-Fatwa ulama Ahlus Sunnah Seputar pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian hlm. 181-182, Penerbit Qaulan Karima)

Pembahasan singkat mengenai poligami ini sebagai bentuk nasihat pada diri saya pribadi dan kaum muslimin bahwa apa pun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya wajib kita terima dan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya harus kita tinggalkan. Sebagaimana dalam firman Allah, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)

Adapun poligami adalah syariat yang datang dari Allah dan Rasul-Nya maka wajiblah kita terima dengan ketundukan dan keikhlasan karena yang datang dari Allah dan Rasul-Nya pasti baik adanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Salam dan shalawat semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, shahabat, dan pengikutnya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tinggalkan komentar