Bantahan terhadap Pendapat Tidak Disyariatkannya Shalat Sunnah Sebelum Maghrib


BERAPA LAMA WAKTU ANTARA ADZAN DAN IQAMAH?

 

Oleh : Al-Faqir fi Awni Rabbihi Rudi Iswadi

 

Rasulullah bersabda kepada Bilal ibn rabah, “Jadikanlah antara azan dan Iqamah-mu sekedar seorang yang makan selesai dari makannya, orang yang minum selesai dari minumnya, orang yang buang hajat menyelesaikan hajatnya.”(HR. Tirmidzi dan AlHakim Hadits Shahih lighairi[1]) 

Adapun hadits yang menjadi syawahid/pendukung hadits ini ialah riwayat Imam Bukhary[2]  

 

1.      Dari Anas bin Malik, Dia (Anas) berkata, “biasanya apabila Muadzin mengumandangkan Azan, maka para sahabat Nabi SAW berdiri dan segera menghampiri tiang-tiang, sampai Nabi SAW keluar sedang mereka dalam keadaan demikian. Mereka shalat dua rakaat sebelum maghrib. Tidak ada sesuatu diantara azan dan iqamah.” Utsman ibn Jabalah dan Daud meriwayatkan dari Syu’bah, “tidak ada (jarak) antara keduanya kecuali sebentar.” 

 

2.      Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzani bahwa Rasulullah bersabda, “Di antara setiap dua Azan terdapat shalat – diucapkan tiga kali – bagi siapa yang mau.” 

Dari kedua hadits pendukung ini, jelaslah bagi kita bahwa ada selang waktu di antara adzan dan iqamah sekedar shalat dua rakaat ringan. Ini merupakan tabyin/penjelas bagi mereka yang menyangkal adanya shalat sunnat diantara dua adzan (Adzan dan Iqamah). 

Hadits ini mencakup adzan dan iqamah pada setiap shalat karena sifat keumuman hadits tersebut. 

Adapun kekhilafan yang sering terjadi ialah Muadzin menyambung Adzan dan iqamah tanpa ada selang waktu sekedar orang melakukan shalat ringan dua rakaat. Ini bertentangan dengan hadits diatas dan tidak pernah dicontohkan oleh generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in/salafus sholeh. 

Pada dasarnya Adzan merupakan seruan/panggilan kepada jamaah untuk datang melaksanakan shalat di masjid. Dan selayaknya muadzin dan imam menunggu orang-orang datang ke masjid, baik yang sedang jalan maupun yang masih di rumah. Tentu saja ada batas waktu untuk menunggu kedatangan mereka yakni seqadar shalat ringan dua rakaat. Inilah hikmah dari disyariatkannya adzan. 

Oleh karena itu, jika azan yang dikumandangkan oleh muadzin langsung di sambung dengan iqamah (tanpa memberi waktu selang) maka hal ini bertentangan dengan hikmah pensyariatan adzan tersebut. 

 

Kandungan lain dari hadits di atasAl Imam Qurthubi berkata, “Makna lahiriah hadits Anas bin Malik di atas menyatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum Maghrib merupakan perbuatan shahabat yang mendapat taqrir atau pengukuhan dari Nabi SAW. Mereka mengamalkanya hingga saling mendahului untuk mendapat tempat dekat tiang masjid yang dijadikan sebagai sutrah/pembatas shalat. Adapun sikap Nabi yang tidak mengerjakannya bukan berarti menafikan hukum Mushtahab (disukai) perbuatan tersebut. Bahkan sikap Nabi ini hanya berindikasi bahwa shalat dua rakaat ini tidak termasuk shalat fardhu. 

Telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dan selainnya melalui beberapa jalur dari Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Ubay bin Ka’ab, Abu Darda’, Abu Musa dan sahabat lainnya, bahwa mereka melakukan shalat sebelum maghrib secara terus menerus.[3] 

As-Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBany berkata, “Riwayat Imam Bukhari dalam masalah shalat sunnah sebelum maghrib inilah yang paling dapat diperpegangi sebagai dasar pensyari’atan shalat sunnah sebelum maghrib.” Ini juga merupakan hujjah tentang adanya selang waktu antara azan dan iqamah.”[4] 

Abu Ubadah alu Salman berkata, “Kandungan lain dari hadits Anas bin Malik diatas adalah bahwa merupakan amalan para sahabat untuk mengerjakan shalat sunnah sebelum maghrib. Dengan hadits ini pula disyariatkannya shalat menghadap kepada sutrah/pembatas. Ini merupakan sunnah yang telah ditinggalkan banyak orang.”[5]

 

Subhat dan Jawaban

Subhat 1

Anggapan sebagian orang bahwa shalat qabliyah maghrib tidak boleh dikerjakan karena sesuai hadits Nabi tentang larangan/keharaman mengerjakan shalat setelah Ashar. 

Jawaban,  perlu ditegaskan bahwa shalat yang dilarang setelah shalat ashar adalah shalat-shalat muthlaq. Yakni shalat yang tidak memiliki sebab, namun jika shalat itu memiliki sebab maka shalat itu tidak mengapa dikerjakan setelah ashar. Seperti shalat Tahiyyatul Masjid, shalat kusuf, shalat tawwaf karena shalat-shalat tersebut telah disyari’atkan mengeerjakannya walaupun dalam waktu yang dilarang, hal ini dikarenakan telah diriwayatkan hadits shahih yang mendukung perbuatan tersebut. (Majmu’ fatwa Syeikh bin Baz bab shalat Muthlaq). Berikut teks fatwa beliau –rahimahullah anhu-

النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس))

لكن هذا العموم يستثنى منه الصلاة ذات السبب في أصح قولي العلماء كصلاة الكسوف وصلاة الطواف وتحية المسجد ،فإن هذه الصلوات يشرع فعلها ولو في وقت النهي لأحاديث صحيحة وردت في ذلك تدل على استثنائها من العموم 

Subhat 2

Sebagian orang berdalil, singkatnya waktu maghrib tidak memungkinkan untuk shalat Qabliyah Maghrib.

 

Jawaban

Waktu maghrib telah dijelaskan oleh Rasulullah, bahwa waktunya sejak terbenam matahari hingga hilang sapak yang merah.[6]

 Jika waktu maghrib tidak mencukupi untuk melakukan shalat Qabliyah maka sungguh sejak dahulu Rasulullah akan melarang orang untuk shalat Qabliyah maghrib. Namun sebaliknya, Rasulullah malah menganjurkan untuk shalat qabliyah maghrib bagi siapa yang mau mengerjakannya. Sebagaimana dalam Kitab Shahih Bukhari, Rasulullah bersabda, “Shalatlah sebelum maghrib – tiga kali beliau ucapkan-, bagi siapa yang mau.” 

Imam Nawawi berkata dalam Kitab Syarah Muslim, “Pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa mengerjakan shalat sunnah sebelum maghrib berakibat mengakhirkan waktu shalat maghrib dari awal waktunya, merupakan khayalan yang rusak dan bertentangan dengan sunnah. Meski demikian hendaknya waktu mengerjakan shalat sunnah sebelum maghrib dipersingkat sehingga tidak mengundurkan pelaksanaan shalat maghrib dari awal waktunya.”[7] 

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Seluruh dalil menunjukkan bahwa shalat sebelum maghrib dikerjakan secara ringkas seperti shalat sunnat fajar. Hikmah dianjurkannya adalah shalat dua raka’at antara azan dan iqamah adalah sebagai harapan agar do’anya terkabulkan, sebab hadits shahih bahwa Rasulullah mengatakan doa diantara azan dan iqamah tidak ditolak. Manakala suatu waktu itu lebih mulia, maka pahala ibadah yang dikerjakan pada waktu tersebut akan lebih banyak.”[8] 

Saudaraku, berpegang teguh kepada sunnah adalah jalan terbaik bagi kita untuk kembali menghidupkan Agama Allah ini ditengah terpaan cobaan, baik dari orang diluar Islam maupun dari orang Islam sendiri.  Cobaan dari orang luar Islam ialah mereka mencoba memurtadkan kaum muslimin dengan cara apasaja, sedangkan cobaan dari dalam ialah banyaknya kaum muslimin yang merubah dan menambahi syari’at ini dengan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam. 

Saudaraku, hendaknya segala ibadah yang kita kerjakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah, lebih-lebih ibadah shalat. Karenanya Rasulullah berpesan, “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat.” 

Saudaraku, sesungguhnya mencampakkan kebenaran adalah suatu kesombongan. Hendaknya kita kembali merujuk kepada akhlaq para sahabat, bagaimana mereka mengambil keputusan dengan mendengarkan pendapat anak kecil. Ini membuktikan bahwa kebenaran bisa datang  dari siapa saja. Fa’tabiru ya ulil Albab, inkuntum ta’qilun. 

 

Kesimpulan 

Adapun kesimpulan dari pembahasan yang singkat ini ialah: 

1.      Merupakan sebuah sunnah/syariat memisahkan adzan dan iqamah dengan sedikit waktu seqadar shalat ringan dua rakaat.2.      Shalat Qabliyah Maghrib dianjurkan untuk dikerjakan walaupun tidak termasuk sunnah muakkadah, sesuai hadits shahih riwayat Imam Bukhary.3.      Hendaknya imam masjid memberikan waktu kepada jama’ah untuk melakukan shalat sunnah tersebut. Sebagaimana Rasulullah memberikan pilihan bagi siapa yang ingin mengerjakan shalat sebelum maghrib ini.4.      Adalah merupakan kesalahan jika hukum ibadah diambil dengan cara Vote (pemungutan suara) dari para jama’ah tentang shalat ini. Karena masalah ibadah telah sempurna di atur dalam AlQuran dan Hadits Rasulullah. Jika ibadah ditetapkan menurut suara terbanyak maka yang terjadi adalah ibadah asal-asalan, asal cepat, asal ada, asal jadi, dll. 


[1] Hadits shahih lighairi artinya hadits daif yang memiliki pendukung sehingga menjadi shahih.

[2] Shahih Bukhary hadits bab. Azan no. 503

[3] Fathul Bari’ Syarah Shahih Bukhary bab. Azan hal. 89

[4] Tamamul Minnah. Juz 1 hal 172

[5] Qaulul mubin fi akhta’il mushalin.

[6] Syarah alMumthi’ Syeikh Sholeh al Utsaimin

[7] Shahih Muslim syarah Imam Nawawi, bab kitab shalah. Juz 2

[8] Fathul Bari’ Syarah Shahih Bukhari bab. Azan hal. 89

Tinggalkan komentar