Shalat Tarawih Sesuai Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa Salam (Bagian 4)


[Sambungan dari bagian 3.]

 

QUNUT DALAM SHALAT WITIR

Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik, dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud: “Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)

Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu: “Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ….”

Akan tetapi, dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi: “Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha’ (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma’bud: “Abu Atikah dlaif.” Juga kata Al-Baihaqi: “Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha’ 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500.)

Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: “Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.

Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi’i dan Ahmad.

Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)

Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa’i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani). Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.

Syaikh Masyhur berkata: “Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)

Kemudian tata caranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayyid Sabiq: “Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak.” (Fiqhus Sunnah 1/166)

Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: “Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka.”

Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: “Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil.” (Al-Fatawa hal. 47).

Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta’il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.

Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa ‘aafinii fiiman ‘aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : “Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)

Syaikh Masyhur mengatakan: “Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan “falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik.” Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)

Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.

Wallahu `alam bisshawab.

Maraji’:
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta’il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli “Sholat Tarawih”, hal 22-32)

{Bersambung ke bagian lima….}

 

Sumber: www.salafy.or.id

Tinggalkan komentar