Sekelumit Catatan Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi (2)


Sekelumit Catatan BAUS

Oleh Al Akh Abu ‘Amr Ahmad Alfian

Dalam buku barunya yang berjudul Belajar Dari Akhlaq Ustadz Salafi (BAUS), saudara Abduh Zulfidar Akaha masih pada kebiasaan lamanya, yaitu senantiasa menggiring pembaca untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dia maukan, seperti : menuduh Al-Ustadz Luqman berdusta, beliau menuduh tanpa bukti dan fakta, menjatuhkan kredibilitas beliau, atau meragukan keabsahan data dan bukti yang ditampilkan oleh beliau, yang itu semua dilakukan dengan gaya bahasa dan cara-caranya yang penuh jebakan dan permainan. Maka kami ingin mencoba menampilkan beberapa contoh kecil yang akan membantu para pembaca mengetahui gaya dan cara saudara Abduh yang penuh jebakan tersebut. Insya Allah kami akan bawakannya dalam beberapa tulisan/artikel. Semoga bermanfaat.

1. Keabsahan Penegasan Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah yang diragukan
2. Cara Abduh Zulfidar Akaha Mengabaikan Kemanusiaan Seorang Manusia
3. Benarkah Pustaka Qaulan Sadida Mengkritik Pustaka Al-Kautsar??
Untuk memudahkan para pembaca berikut tulisan berseri dalam arsip catatan baus kami buat dalam format pdf

sekelumit catatan untuk Abduh Zulfidar Akaha

****************

2. Cara Abduh Zulfidar Akaha Mengabaikan Kemanusiaan Seorang Manusia

Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Tidak ada yang sempurna. Mengingat hal ini, dalam pengantar bukunya Mereka Adalah Teroris! Al-Ustadz Luqman mengatakan :”Penulis menyadari, bahwa apa yang tersajikan di hadapan pembaca kali ini, masih belum sempurna, atau bahkan jauh dari sempurna. Karena itu kami pun mohon ma’af yang sebesar-sebesarnya kepada segenap pembaca sekalian. Segala kritik dan saran yang ilmiah dan membangun akan kami terima dengan lapang dada.” [MAT cet-I/hal. 9]

Demikian juga dalam pengantar bukunya Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij beliau juga mengatakan :

“Kami menyadari bahwa tulisan kami ini jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan dan kealpaan di sana sini. Kami mengakui berbagai kekurangan dan kealpaan tersebut. Kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk tepat dan tidak terjadi kesalahan, termasuk dalam masalah pengetikan dan penukilan. Namun layaknya manusia biasa, tentu tak akan luput dari kekurangan. Tidak ada yang bisa kami janjikan, kecuali kami telah berusaha untuk lebih objektif, sportif, dan proporsional. Semoga Allah membantu kami mewujudkannya.
Maka dalam kesempatan ini, tak lupa kami memohon ma’af yang sebesar-besarnya kepada seluruh pembaca atas berbagai kekurangan dan kealpaan tersebut. Sekaligus kami sangat menanti adanya saran dan kritik yang membangun berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bimbingan pemahaman Salaful Ummah. [MDMTK hal. 15]

Namun Abduh Zulfidar Akaha memiliki cara tersendiri dalam mengabaikan kemanusiaan seorang manusia. Sebut saja misalnya, pada STSK hal. 96 catatan kaki no. 171 ketika Abduh membenahi kesalahan ketik yang terdapat pada buku MAT , yaitu tertulis : Yusuf Qardhawi. Dengan sangat kasar dan tidak sopan serta bernada mengejek bahkan mengandung tuduhan, saudara Abduh mengatakan :

“Demikian tertulis di buku aslinya. Menyebut nama orang yang dikritik saja salah, bagaimana mungkin membaca bukunya?”
[STSK hal. 96; catatan kaki no. 171]

Kesalahan ketik merupakan kesalahan yang bersifat sangat manusiawi. Tapi kenapa Abduh Zulfidar tidak bisa sopan ketika mengkritiknya? Bahkan ungkapannya sangat kasar dan bernada mengejek. Lebih dari itu, Abduh ZA sama sekali tidak menghargai upaya perbaikan dari Al-Ustadz Luqman. Kesalahan tersebut terdapat pada MAT cetakan I hal. 174 catatan kaki no. 102, dan telah dibenahi pada cetakan II, yaitu pada hal. 183 catatan kaki no. 102. Mungkin saja saudara Abduh ZA tidak mengetahui adanya pembenahan dari Al-Ustadz Luqman. Jika ini yang terjadi, menunjukkan bahwa saudara Abduh ZA tidak (atau belum) membaca buku MAT yang dia bantah secara sempurna dan penuh kehati-hatian. Atau bisa jadi saudara Abduh ZA sudah mengetahui pembenahan tersebut, tapi apa yang mendorong dia untuk mengabaikannya? Wallahu a’lam.

Bahkan Abduh Zulfidar Akaha punya cara tersendiri untuk menuduh orang lain berdusta. Sungguh sangat aneh ketika “kesalahan kecil”–kalau memang itu dianggap sebagai kesalahan 1) – yang ditulis oleh Al-Ustadz Luqman dalam salah satu catatan kaki 2 ) buku MAT :

“… . Hadits ini adalah hadits yang shahih, dishahihkan para ‘ulama besar dari kalangan ahlul hadits Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Di antaranya: At Tirmidzi, Al Hakim, Adz Dzahabi, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Asy Syathibi dalam Al I’thisham, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Ibnu Katsir dalam tafsirnya, …. .”

Ternyata “kesalahan” tersebut dikritisi oleh Abduh Zulfidar Akaha dengan sangat kasar dan sangat tidak sopan serta sangat tidak santun, yaitu dalam satu judul tersendiri :

Catatan Ketujuh: Kedustaan-kedustaan Al-Ustadz Luqman” [STSK hal. 137]

Yang kemudian digeber secara berentet dalam sub-sub judul :

Kedustaan Pertama; Kedustaan Atas Nama Imam At Tirmidzi [STSK hal. 137-141]
Kedustaan Kedua; Kedustaan Atas Nama Imam Asy-Syathibi [STSK hal. 141-143]
Kedustaan Ketiga; Kedustaan Atas Nama Imam Ibnu Katsir [STSK hal. 143-144]

Perhatikan, dengan mudahnya dia menuduh orang lain berdusta. Ini jelas-jelas sangat kasar, sangat tidak sopan, dan sangat tidak santun. Walaupun dibumbui dengan ucapan :

“Sesungguhnya subjudul ini terasa berat diucapkan. Bagaimanapun juga sangat tidak enak mengatakan seorang ustadz berdusta.”
[STSK, hal. 137]

Namun pada akhirnya Abduh ZA pun menegaskan :

“Karena Al Ustadz Luqman terbiasa berbohong dalam bukunya tersebut, … .”
[STSK, hal. 158, cetak tebal dari kami]]

Padahal Al-Ustadz Luqman ketika menuliskan catatan kaki tersebut -bahwa hadits iftirâqul ummah dishahihkan oleh para ‘ulama besar ahlus sunnah, di antaranya oleh At-Tirmidzi, Asy-Syâthibi, dan Ibnu Katsîr- merupakan kesimpulan atas kajian beliau tentang para ‘ulama yang menshahihkan hadits tersebut, dan beliau tidak sembarangan dalam hal ini. Beliau memiliki hujjah dan landasan ilmiah dalam pernyataan beliau tersebut. Alhamdulillâh semuanya telah diterangkan secara ilmiah dan memuaskan oleh Al-Ustadz Luqman dalam MDMTK, sekaligus keterangan tersebut membuktikan bahwa Abduh Zulfidar Akaha-lah yang berdusta dalam hal ini.

Kalaupun seandainya kita terima bahwa Al-Ustadz Luqman salah dalam hal ini, pantaskah Abduh ZA kemudian menvonis Al-Ustadz Luqman berdusta? Pantaskah “kesalahan kecil” semacam ini dinyatakan sebagai dusta? Kenapa Abduh tidak memposisikannya sebagai sebuah kesalahan manusiawi? Kenapa Abduh dengan entengnya mengabaikan kemanusian seorang manusia? Kenapa Abduh tidak bisa sopan dan tidak bisa santun dalam kritikannya terhadap Al-Ustadz Luqman? Padahal dia sendiri dalam STSK sangat getol menyuarakan keharusan santun dan sopan dalam mengkritik. Lihat ucapannya,

Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh hafizhahullah juga menggunakan kata-kata tidak santun dalam bukunya. Hal ini benar-benar tidak sesuai dengan syariat dan tidak selayaknya dilakukan oleh seorang muslim, apalagi seorang ulama.”
[STSK, hal. 48. cetak tebal dari saya]

“Untuk itu, sebagai saudara sesama muslim, adalah kewajiban kita semua untuk saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran, yang tentu saja dengan cara yang baik dan santun. Bukan dengan cara mencari-cari dan mengoleksi kesalahan orang atau ulama yang tidak disukai untuk kemudian disebar-luaskan …
[STSK, hal. xxiii. Cetak tebal dari saya]

Sekali lagi ini kalau kita terima bahwa itu sebagai kesalahan, sungguh tidak pantas dan tidak benar jika Abduh ZA menyatakannya sebagai kedustaan. Lalu bagaimana jika ternyata itu bukan merupakan kesalahan? Maka tentu lebih-lebih lagi.

Jadi menurut Abduh ZA, satu kesalahan kecil berarti telah jatuh vonis dusta.

Kemudian, lebih terasa aneh lagi ketika Al-Ustadz Luqman menukil surat keterangan resmi dari Hai`ah Kibâril ‘Ulamâ` –dengan menyebutkan sumber penukilannya secara jelas– juga tidak dipercaya dan divonis telah berdusta, dan dibahas dalam STSK dengan sub judul :

“Kedustaan Keempat; Kedustaan Atas Nama Syaikh Bin Baz (dan Hay’ah Kibar Al- ‘Ulama)
[STSK, hal. 144-159]

Alhamdulillâh permasalahan ini pun telah dijawab dan dijelaskan oleh AL-Ustadz Luqman dengan sangat memuaskan dalam MDMTK.

Kalau sebelumnya satu “kesalahan kecil”3) divonis dusta, maka kali ini sesuatu yang ada buktinya divonis dusta pula. Yaitu ketika Al-Ustadz Luqman menukil dari satu sumber :
“Sudah menjadi kesepakatan umat Islam bahwa berita dari orang kafir itu tertolak.” [MAT, hal. 192, 388/cet.I]

Pernyataan yang beliau nukil dari Madârikun Nazhar hal. 331 ini, malah divonis dusta oleh saudara Abduh dengan menyatakan :

“Kedustaan Kelima; Kedustaan Atas Nama Kesepakatan Umat Islam
[STSK, hal. 144-159]

Lalu Abduh juga mengatakan :

“Masih belum cukup berdusta dengan mengatasnamakan para ulama besar Ahlu Sunnah wal Jama’ah, kali ini Al Ustadz Luqman mencoba mengelabuhi pembaca dengan mengatasnamakan kesepakatan umat Islam.
[STSK, hal. 159. cetak tebal dari kami]

Perhatikan kata-kata yang kami beri cetak tebal. Betapa kasarnya kata-kata yang digunakan oleh Abduh Zulfidar ini. Dengan emosi ia menegaskan bahwa Al-Ustadz Luqman berdusta. Berdusta artinya berbohong, dan ini harus dengan bukti. Alhamdulillâh tidak ada bukti bahwa Al-Ustadz Luqman berdusta atas nama para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan justru sebaliknya terbukti bahwa Abduh Zulfidar – lah yang berdusta. Silakan baca MDMTK hal. 276-351.

Kemudian dengan emosi yang makin tidak terkendali, Abduh menuduh Al-Ustadz Luqman mengelabuhi pembaca. Mengelabuhi artinya menipu. Orang menipu pasti disertai dengan niat, yakni niat untuk memperdaya orang lain dengan tipuannya. Dari mana Abduh Zulfidar ini tahu bahwa Al-Ustadz Luqman berniat menipu? Apakah Abduh sudah membelah dada beliau? Sungguh tidak pernah ada akhlaq yang demikian pada diri Al-Ustadz Luqman, tidak dalam buku MAT tidak pula dalam kehidupan sehari-hari. Jelas-jelas Al-Ustadz Luqman mengatakan dalam Muqaddimah terhadap buku MAT :
“Maka dalam rangka untuk memberikan nasehat dan peringatan kepada umat dari bahaya laten penyimpangan dan penyesatan aqidah dan manhaj, bahaya laten aliran-aliran sesat dan menyesatkan, demikian juga nasehat dan peringatan kepada umat dari bahaya dan kejahatan tokoh-tokoh kebatilan, maka kami terpanggil untuk menulis bantahan terhadap Imam Samudra.” [MAT, cet. I/hal. 57]

Al-Ustadz Luqman yang dengan niat tulus hendak memberikan nasehat dan peringatan kepada umat, malah dituduh mengelabui para pembaca oleh Abduh Zulfidar. Biarlah Allah yang membalas tuduhan keji Abduh Zulfidar yang menyatakan diri sebagai seorang Salafi ini.

Begitu pula dalam bukunya kali ini Belajar Dari Akhlaq Ustadz Salafi, Abduh ZA juga punya cara tersendiri dalam mengabaikan kemanusiaan seorang manusia, bahkan kesalahan tersebut dia gunakan untuk menjatuhkan kredibilitas atau keadilan (kejujuran) orang lain.

Sebagai contoh : dalam catatan kaki no. 569 hal. 214 Abduh ZA mengatakan :

“Demikian tertulis dalam MDMTK, “kaset rekaman no. 850.” Namun, sebetulnya dalam buku Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if, disebutkan nomor 855 (855). 4) Bukan nomor 850. Akan tetapi, apabila Al Ustadz Luqman menukilnya dari internet, memang di sana tertulis nomor 850. Padahal pada halaman sebelumnya, Al Ustadz Luqman menyebutkan sumber nukilannya -seolah-olah- langsung dari buku Syaikh Rabi’ tersebut. 5) Dan, dalam Daftar Pustaka MDMTK pun juga disebutkan buku ini sebagai salah satu referensi yang beliau pakai, tepatnya pada nomor 124. Idealnya, jika memang Al Ustadz Luqman benar-benar memiliki atau menggunakan langsung buku Syaikh Rabi’ yang beliau sebutkan sebagai referensi tersebut, beliau tentu akan menyebutkan nomor 855. 6) Sekadar catatan kecil saja, sebetulnya perkataan Syaikh Al-Albani yang dinukil oleh Syaikh Rabi’ ini terdapat persis di bawah perkataan Syaikh Bin Baz. 7) Jadi, jika seseorang memiliki atau menggunakan buku ini sebagai referensi, dia tidak perlu repot-repot membuka internet untuk mencari perkataan Syaikh Al-Albani ini. 8) Dan satu catatan lagi, perkataan Al Ustadz Luqman berikut, “Ditranskrip dari salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di kota Ath-Tha`if selepas shalat Shubuh,” juga terdapat dalam internet pada satu halaman yang sama. 9) Dan (lagi), sekiranya pembaca ingin memiliki kaset rekaman Silsilatul Huda wan Nur-nya Syaikh Al-Albani dari nomor 1 hingga 901, silakan buka http://www.alalbany.net. Khusus untuk kaset rekaman nomor 850 dan 855, klik http://www.alalbany.net/lbany_tapes_hoda_noor_05.php. 10) Alhamdulillah, kami memiliki buku Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if-nya Syaikh Rabi’ dan kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nurnya Syaikh Al-Albani yang disebutkan Al Ustadz Luqman. Sumber dari internet pun kami juga ada, meskipun berbeda dengan yang disebutkan oleh Al Ustadz Luqman.”
[BAUS hal. 214 catatan kaki no. 569]

Pembaca yang budiman, demikian kalimat-kalimat ‘halus’ saudara Abduh Zulfidar Akaha dalam menjatuhkan pihak lain. Hanya dengan sebab permasalahan sepele, dia bisa mengemasnya sedemikian rupa sehingga kredibilitas pihak lain jatuh karenanya.

Perhatikan ucapan Abduh :

“Demikian tertulis dalam MDMTK, “kaset rekaman no. 85o.” Namun, sebetulnya dalam buku Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if, disebutkan nomor 855 (855). Bukan nomor 850. Akan tetapi, apabila Al Ustadz Luqman menukilnya dari internet, memang di sana tertulis nomor 850.

Permasalahan yang diungkit sesungguhnya adalah, ketika Al-Ustadz Luqman dalam MDMTK hal. 137-139 menyebutkan terjemah transkrip tanya-jawab antara Asy-Syaikh Al-Albâni dengan seorang penanya dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr. Di situ ada dua tanya jawab dari dua kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr yang berbeda :
– Tanya jawab pertama, Al-Ustadz Luqman menyebutkan dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr no. 850.
– Tanya jawab kedua, Al-Ustadz Luqman menyebutkan dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr yang berjudul Man Hâmilu Râyatil Jarhi wat Ta’dîl fil ‘Ashril Hâdhir (artinya : Siapa Pembawa Bendera Al-Jarhu wat Ta’dîl Pada Masa Ini).

Kemudian untuk kedua tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni tersebut, pada MDMTK hal. 139 Al-Ustadz Luqman menyebutkan sumber rujukannya yaitu : Aqwal ‘Ulama‘is Sunnah fi Manhajil Muwazanat 11) di http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=

Pembaca yang budiman, jelas-jelas Al-Ustadz Luqman menyebutkan sumbernya dari internet. Ada apa saudara Abduh ZA menghubungkannya dengan kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ`if karya Asy-Syaikh Rabî’? 12) Jelas-jelas Al-Ustadz Luqman tidak merujuk ke kitab tersebut dalam menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni. Demikian juga Al-Ustadz Luqman menyebutkan nomor kasetnya 850. Buat apa menyinggung-nyinggung kesalahan nomor menjadi 855? Kalau mau tahu orang kurang kerjaan, ya saudara Abduh ini orangnya.13 )

Kemudian saudara Abduh mengatakan :

Padahal pada halaman sebelumnya, Al Ustadz Luqman menyebutkan sumber nukilannya -seolah-olah- langsung dari buku Syaikh Rabi’ tersebut

Halaman sebelumnya yang dimaksud adalah MDMTK hal. 136, ketika dalam catatan kaki no. 82 Al-Ustadz Luqman menyebutkan :
“Ditranskrip dari kaset salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Baz v, yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di kota Ath-Tha‘if selepas shalat Shubuh. Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ hal. 9.”

Semula saya agak ndak nyambung, kenapa tiba-tiba saudara Abduh pindah ke halaman sebelumnya, apa kaitannya dengan penukilan transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni? Setelah saya pahami baik-baik, rupanya di sini juga Abduh ZA hendak memberikan tuduhan berikutnya. Penjelasannya sebagai berikut :

Pada MDMTK hal. 135-136, Al-Ustadz Luqman menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Bin Bâz seputar batilnya manhaj Al-Muwâzanah. Catatan kaki no. 82 pada halaman 136 buku MDMTK itu dimaksudkan sebagai sumber rujukannya. Tanya jawab tersebut berasal dari salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Bâz v, yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di kota Ath-Thâ‘if selepas shalat Shubuh. Tentu saja Al-Ustadz Luqman tidak ikut langsung dalam pelajaran tersebut. Namun beliau mendapatkan informasinya dari kitab Asy-Syaikh Rabî’ Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ‘if, karena itu beliau mengatakan :
“Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ hal. 9.”

Berarti beliau merujuk pada kitab tersebut atau menjadikan kitab tersebut sebagai rujukan. Atau dengan bahasa yang lebih jelas, merujuk langsung kepada kitab tersebut. Namun, Subhanallâh, hal ini ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh saudara Abduh ZA. Apa kata Abduh,

Al Ustadz Luqman menyebutkan sumber nukilannya -seolah-olah- langsung dari buku Syaikh Rabi’ tersebut.

Jadi saudara Abduh ZA tidak percaya kalau Al-Ustadz Luqman merujuk langsung dari buku Asy-Syaikh Rabi’ tersebut. Dia malah curiga, kalau-kalau Al-Ustadz Luqman merujuk dari sumber lain namun mengesankan merujuk langsung kepada kitab tersebut, sehingga dia mengatakan “… -seolah-olah- langsung dari buku Syaikh Rabi’ tersebut … ” Subhânallâh, begini rupanya cara Abduh ZA dalam menuduh dan menjatuhkan pihak lain.
Kemudian saudara Abduh melanjutkan,

Dan, dalam Daftar Pustaka MDMTK pun juga disebutkan buku ini sebagai salah satu referensi yang beliau pakai, tepatnya pada nomor 124. Idealnya, jika memang Al Ustadz Luqman benar-benar memiliki atau menggunakan langsung buku Syaikh Rabi’ yang beliau sebutkan sebagai referensi tersebut, beliau tentu akan menyebutkan nomor 855

Saudara Abduh ZA masih tidak percaya kalau Al-Ustadz Luqman benar-benar memiliki dan menggunakan langsung buku Asy-Syaikh Rabi’ sebagai rujukan. Namun perlu diperhatikan, itu adalah ketika menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Bin Bâz v. Adapun ketika menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni v , Al-Ustadz Luqman memang tidak merujuk kepada kitab Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ‘if karya Asy-Syaikh Rabî’ hafizhahullâh tersebut. Ini perlu diperhatikan baik-baik. Terkhusus oleh saudara Abduh ZA. Sehingga saudara Abduh ZA pun jangan memaksa Al-Ustadz Luqman untuk juga menyebutkan nomor kaset 855.

Saudara Abduh ZA melanjutkan,

Sekadar catatan kecil saja, sebetulnya perkataan Syaikh Al-Albani yang dinukil oleh Syaikh Rabi’ ini terdapat persis di bawah perkataan Syaikh Bin Baz. Jadi, jika seseorang memiliki atau menggunakan buku ini sebagai referensi, dia tidak perlu repot-repot membuka internet untuk mencari perkataan Syaikh Al-Albani ini.

Sekadar catatan pula buat saudara Abduh ZA, bahwa kitab Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ`if pada cetakan yang dijadikan rujukan oleh Al-Ustadz Luqman, yaitu terbitan Pustaka Dârul Manâr, cetakan ke-2, tahun 1413 H/1993 M, transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni tersebut tidak ada. Namun Alhamdulillâh, fatwa Asy-Syaikh Al-Albâni tentang batilnya manhaj Al-Muwâzanah masih bisa didapati, dan itu sangat banyak dan mudah didapati di internet, baik berupa suara maupun sudah dalam bentuk transkrip langsung. Alhamdulillâh untuk membuka internet tidak repot. Semuanya serba mudah. Di antara link internet yang menampilkan fatwa-fatwa para ‘ulama ahlus sunnah tentang batilnya manhaj al-muwâzanah dengan tampilan yang rapi dan bagus, adalah link yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman, yaitu http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=.

Ucapan saudara Abduh ZA : ” Jadi, jika seseorang memiliki atau menggunakan buku ini sebagai referensi … ” mengandung tuduhan bahwa Al-Ustadz Luqman tidak memiliki atau tidak menggunakan buku Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ‘if karya Asy-Syaikh Rabî’ hafizhahullâh. Jadi saudara Abduh ZA tidak percaya kalau beliau benar-benar memiliki dan menggunakannya sebagai referensi, sekaligus ini merupakan tuduhan atas kejujuran beliau. Luar biasa, … sangat lihai dan piawai saudara Abduh ini mengemas kata-kata. Dari masalah kecil dan sepele, ia bisa menggunakannya sebagai alat untuk menjatuhkan orang lain. Biar Allah saja yang membalas tuduhan keji saudara Abduh ZA tersebut.

Dan satu catatan lagi, perkataan Al Ustadz Luqman berikut, “Ditranskrip dari salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, ” juga terdapat dalam internet pada satu halaman yang sama.

Memang betul saudara Abduh ZA. Lalu jika demikian adanya memangnya kenapa? Apa tidak boleh kalau Al-Ustadz Luqman ketika menampilkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Bin Bâz v, beliau menyebutkan sumbernya dari bukunya Asy-Syaikh Rabî’, kemudian ketika menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni, beliau menyebutkan rujukannya dari internet. Apakah tidak boleh cara yang demikian? Bagaimana beliau akan menyebutkan sumber rujukan dari bukunya Asy-Syaikh Rabi’ untuk tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni v sementara tanya jawab tersebut memang tidak ada pada kitab cetakan yang beliau punya?

Satu hal yang menarik di sini, pada MDMTK setelah menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Bin Bâz dan Asy-Syaikh Al-Albâni tentang batilnya manhaj Al-Muwâzanah, Al-Ustadz Luqman juga menyebutkan tanya jawab bersama Asy-Syaikh Shâlih Al-Fauzân. Beliau menyebutkan sumber rujukannya dari kitab Al-Ajwibatul Mufîdah ‘an As‘ilatil Manâhijil Jadîdah. Tanya jawab ini pun juga disebutkan dalam sumber yang sama di internet. 14) Aneh bin ajaib masalah ini tidak disentuh atau tidak dikomentari oleh saudara Abduh ZA. 15) Tidak seperti dua tanya jawab sebelumnya, saudara Abduh ZA turut usil mengomentari dengan komentar yang mengada-ada. Ya, beginilah orang kurang kerjaan.

Kemudian, sebagai informasi tambahan yang bermanfaat, bahwa sumber internet yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman adalah Aqwâl ‘Ulamâ‘is Sunnah fi Manhajil Muwâzanât, artinya: Penjelasan Para ‘Ulama Sunnah tentang Manhaj Muwazanah . Di situ dimuat fatwa-fatwa para ‘ulama ahlus sunnah wal jama’ah masa ini tentang batilnya manhaj Al-Muwâzanah. Para ‘ulama tersebut adalah :

    1. Samâhatusy Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz v
    2. Fadhîlatusy Syaikh Al-’Allâmah Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni v
    3. Fadhîlatusy Syaikh Al-’Allâmah Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn v.
    4. Fadhîlatusy Syaikh Al-’Allâmah Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân
    5. Fadhîlatusy Syaikh Al-’Allâmah Shâlih bin Muhammad Al-Luhaidân
    6. Fadhîlatusy Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul Muhsin Al-’Abbâd

Kemudian Abduh mengakhiri komentarnya pada catatan kaki no. 569 ini dengan ucapannya :

Alhamdulillah, kami memiliki buku Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if-nya Syaikh Rabi’ dan kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nurnya Syaikh Al-Albani yang disebutkan Al Ustadz Luqman. Sumber dari internet pun kami juga ada, meskipun berbeda dengan yang disebutkan oleh Al Ustadz Luqman.”

Perhatikan kalimat yang saya beri cetak tebal. Mungkin pembaca akan bertanya kenapa sumber internet yang ada pada saudara Abduh ZA berbeda dengan yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman. Hal ini diterangkan oleh Abduh sendiri pada halaman setelahnya :

“Selanjutnya, beliau menutup nukilan dari Syaikh Al-Albani ini dengan menyebut sumbernya, “http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=.” Akan tetapi, situs yang disebutkan oleh Al Ustadz Luqman ini tidak bisa dibuka. Begitu pula ketika kami klik http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query, dengan menghilangkan tanda ” = ” tetap saja tidak bisa dibuka.
Namun demikian, ini hanya soal teknis saja. Bisa jadi dulu situs tersebut bisa dibuka, tetapi sekarang kebetulan sudah tidak bisa dibuka lagi. Meskipun Al Ustadz Luqman mempermasalahkan bahkan mendustakan kami hanya karena ada situs yang kami tampilkan dalam STSK tidak bisa dibuka, namun kami tidak ingin mengikuti jejak beliau dalam hal ini. Yang jelas, bagi pembaca yang ingin membaca langsung fatwa Syaikh Al-Albani tentang manhaj al-muwazanah, silakan klik: http://www.geocities.com/zin200/sq4/html, http://www.alsonan.net/vb/archive/index.php/t-366.html, atau http://www.al-borhan.com/vb/showthread.php?t=289.”
[BAUS, hal. 215]

Jadi sumber internet yang berbeda dengan yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman itu ada tiga :

    http://www.geocities.com/zin200/sq4/html,
    http://www.alsonan.net/vb/archive/index.php/t-366.html,
    http://www.al-borhan.com/vb/showthread.php?t=289.

Bagus, cukup hebat dan cerdas saudara Abduh ini, ketika link internet yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman tidak bisa dibuka, saudara Abduh ZA bisa mendapatkan 3 link alternatif yang memuat data yang sama. Tapi sayang, kehebatan dan kecerdasan saudara Abduh ZA itu hilang entah kemana ketika sumber data klarifikasi Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbâd tentang kitab Rifqan-nya tidak bisa dibuka, yaitu link http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=658 . Kebetulan link tersebut tidak bisa dibuka lagi. Saudara Abduh ZA kehilangan jejak dan kesulitan melacak data tersebut. Namun sayang, pada saat yang bersamaan dia kehilangan kehebatan dan kecerdasannya. Sehingga begitu link tersebut tidak bisa dibuka, dia tidak lagi mengatakan : “Namun demikian, ini hanya soal teknis saja. Bisa jadi dulu situs tersebut bisa dibuka, tetapi sekarang kebetulan sudah tidak bisa dibuka lagi” Namun buru-buru dia mengatakan :

“Mohon maaf sebelumnya, karena terus terang kami meragukan validitas data dan kebenaran apa yang dikatakan Al Ustadz Luqman berkaitan dengan klarifikasi Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah tentang kitab Rifqan-nya.”
[BAUS, hal. 315, cetak tebal dari saya]

Berikutnya dia juga mengatakan :

“Sangat sulit untuk disimpulkan bahwa Syaikh Al-Abbad mengatakan seperti yang dikatakan Al Ustadz Luqman. Jadi, mohon maaf jika kami meragukan kebenaran informasi atau klaim sepihak dari Al Ustadz Luqman ini.
[BAUS, hal. 315, cetak tebal dari saya]

Kemudian, ucapan Abduh berikutnya :

“Meskipun Al Ustadz Luqman mempermasalahkan bahkan mendustakan kami hanya karena ada situs yang kami tampilkan dalam STSK tidak bisa dibuka,”

Saya bertanya kepada anda wahai saudara Abduh ZA, di mana Al-Ustadz Luqman mendustakan anda hanya karena situs yang anda tampilkan dalam STSK tidak bisa dibuka? Betapa anda sudah menggebu-gebu hendak menjatuhkan kredibilitas Al-Ustadz Luqman. Apakah demikian memang cara anda menjatuhkan pihak lain? Ini merupakan tuduhan keji. Sungguh kasar dan tidak beretika cara anda ini.

Ucapan Abduh tersebut disusul dengan kalimat berikutnya :

“… namun kami tidak ingin mengikuti jejak beliau dalam hal ini.”

Setelah berhasil menjelekkan Al-Ustadz Luqman, bahwa beliau mendustakan dirinya hanya karena ada situs yang tidak bisa dibuka, Abduh mengucapkan kata-kata tersebut. Sekali lagi sungguh kasar dan tidak beretika cara saudara Abduh ini.

Setelah “sukses” menjatuhkan kredibilitas Al-Ustadz Luqman dengan cara-caranya yang ‘halus’, maka giliran berikutnya saudara Abduh ZA hendak menjatuhkan keadilan (kejujuran?) seorang ‘ulama. Tepat pada catatan kaki berikutnya, yaitu catatan kaki no. 570 hal. 214 saudara Abduh ZA kembali mengucapkan kata-kata ‘halusnya’ :

“Sekadar catatan kecil saja, sebetulnya kata-kata atau kalimat yang dilewati oleh Al Ustadz Luqman tidak terlalu panjang. Tidak begitu masalah apakah mau diterjemahkan atau tidak. 16) Akan tetapi ada yang ditutup-tutupi di sini (dalam sumber aslinya) oleh Syaikh Rabi’. 17) Sebab, orang yang bertanya tersebut tidak disebutkan identitasnya. Sehingga, bagi yang tidak mendengar langsung kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur, dia akan bingung memenggal kalimatnya. 18) Karena di dalam buku Syaikh Rabi’ tersebut tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Luqman ini. Dan, memang akan lebih selamat jika kata-kata atau kalimat tersebut tidak usah diterjemahkan. Sebab, jika si penerjemah langsung menerjemahkan dari buku Syaikh Rabi’ tanpa mendengarkan kasetnya, maka dia akan melakukan kesalahan, karena kata-kata yang jatuh setelah kalimat, “Segala bentuk kebaikan ada pada sikap mengikuti jejak salaf, apakah dahulu generasi salaf mempraktekkan kaidah ini?” ini adalah perkataan si penanya, tanpa ada tanda pemisah apa pun dari Syaikh Rabi’. Sekadar informasi saja, yang bertanya kepada Syaikh Al-Albani dalam kaset tersebut adalah Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaimani Al-Mishri Al-Ma’ribi, salah seorang murid Syaikh Al-Albani. Abul Hasan ini memang dikenal sebagai salah satu tokoh yang diserang habis-habisan oleh Syaikh Rabi’. 19) Tak kurang dari sembilan buku Syaikh Rabi’ khusus membantah Syaikh Abul Hasan Al-Mishri ini. ….20 )
Jadi, sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) di sini pada diri Syaikh Rabi’, dimana beliau hanya menukil perkataan Abul Hasan saja tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya.21 ) Mungkin, ini termasuk salah satu praktik dari manhaj ‘al-jarh wa at-ta’dil versi beliau. Wallahu a’lam.
[BAUS catatan kaki no. 570, hal. 214-215. cetak tebal dari kami]

Sayang saudara Abduh ZA tidak menyebutkan buku Asy-Syaikh Rabî’ yang mana yang ia maksudkan. Perhatikan ucapannya,

Karena di dalam buku Syaikh Rabi’ tersebut tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Luqman ini

Setahu saya, kitab Asy-Syaikh Rabî’ yang menyebutkan transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni seperti yang disebutkan oleh Al-Ustadz dalam MDMTK hal. 137 adalah kitab An-Nashrul ‘Azîz ‘ala Ar-Raddil Wajîz.

Adapun kitab Asy-Syaikh Rabî’ yang berjudul Manhaj Ahlis Sunnah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ’if terbitan Dârul Manâr cetakan ke-2 tahun 1413 H / 1993 M, transkrip tanya jawab tersebut tidak ada. Adapun kitab Manhaj Ahlis Sunnah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ’if terbitan lain yang ada pada saya, yaitu terbitan Dârul Minhâj – Mesir, transkrip tersebut memang ada, yaitu pada bagian muqaddimah muqaddimah cetakan kedua, namun tidak seperti yang digambarkan oleh saudara Abduh ZA : ” … tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Luqman ini … “. Dalam kitab tersebut dibedakan dengan jelas antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni.

Kembali kepada kitab An-Nashrul ‘Azîz ‘ala Ar-Raddil Wajîz, perlu diketahui bahwa transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni tentang kebatilan manhaj Al-Muwâzanah sesungguhnya telah dibawakan oleh Asy-Syaikh Rabî’ hafizhahullâh dalam kitab beliau tersebut pada halaman 96, dengan cara transkrip yang jelas dan rapi, serta beliau memisahkan dengan jelas antara ucapan sang penanya dengan jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni v. Untuk lebih jelasnya kami nukilkan transkrip tersebut langsung dari buku Asy-Syaikh Rabî tersebut :

وسئل الشيخ محمد ناصر الدين الألباني فأجاب بما يؤكد هذا المنهج كيف لا وهو يسير عليه في كل مؤلفاته، استمع إلى جوابه في شريط (850) وهذا نص كلامه :

” س / الحقيقة يا شيخنا إخواننا هؤلاء أو الشباب هؤلاء جمعوا أشياء كثيرة من ذلك قولهم لا بد لمن أراد أن يتكلم في رجل مبتدع قد بان ابتداعه وحربه للسنة أو لم يكن كذلك لكنه أخطأ في مسائل تتصل بمنهج أهل السنة والجماعة لا يتكلم في ذلك أحد إلا من ذكر بقية حسناته وما يسمونه بالقاعدة في الموازنة بين الحسنات والسيئات، وألفت كتب في هذا الباب ورسائل من بعض الذين يرون هذا الرأي بأنه لا بد منهج الأولين في النقد ولا بد من ذكر الحسنات وذكر السيئات ، هل هذه القاعدة على إطلاقها أو هناك مواضع لا يطلق فيها هذا الأمر نريد منكم بارك اللـه فيكم التفصيل في هذا الأمر ؟

ج / التفصيل هو : وكل خير في اتباع من سلف .

هل كان السلف يفعلون ذلك ؟!

س / هم يستدلون حفظك اللـه شيخنا ببعض المواضع مثل كلام الأئمة في الشيعة مثلاً فلان ثقة في الحديث رافضي خبيث يستدلون ببعض هذه المواضع ويريدون أن يقيموا عليها القاعدة بكاملها دون النظر إلى الآف من النصوص التي فيها كذاب متروك خبيث ؟!

ج / هذه طريقة المبتدعة حينما يتكلم العالم بالحديث برجل صالح أو عالم وفقيه فيقول عنه سئ الحفظ هل يقول إنه مسلم وإنه صالح وإنه فقيه وإنه يرجع إليه في استنباط الأحكام الشرعية . . اللـه أكبر . الحقيقة القاعدة السابقة مهمة جداً تشمل فرعيات عديدة خاصة في هذا الزمان .

من أين لهم أن الإنسان إذا جاءت مناسبة لبيان خطأ مسلم إن كان داعية أو غير داعية لازم ما يعمل محاضرة ويذكر محاسنه من أولها إلى آخرها اللـه أكبر شئ عجيب واللـه شئ عجيب . . وضحك الشيخ هنا تعجباً .

س/ وبعض المواضع التي يستدلونها مثلاً من كلام الذهبي في سير أعلام النبلاء أو في غيرها تُحمل شيخنا على فوائد أن يكون عند الرجل فوائد يحتاج إليها المسلمون مثل الحديث ؟

ج / هذا تأديب يا أستاذ مش قضية إنكار منكر أو أمر بمعروف ـ يعني الرسول عند ما يقول من رأى منكم منكراً فليغيره ، هل تنكر المنكر على المنكر هذا وتحكي إيش محاسنه ؟!

س / أو عندما قال بئس الخطيب أنت ولكنك تفعل وتفعل، ومن العجائب في هذا قالوا : ربنا عزوجل عندما ذكر الخمر ذكر فوائدها ؟!

ج / اللـه أكبر هؤلاء يتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة ، وابتغاء تأويله ، سبحان اللـه أنا شايف في عندهم أشياء ما عندنا نحن.

وللشيخ فتوى أخرى في نقد منهج الموازنات ضمن شريط رقم (638/1) من سلسلة الهدى والنور المعروفة .

Artinya :
(Asy-Syaikh Rabî’ berkata) : Asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni ditanya, maka beliau menjawab dengan jawaban yang mendukung manhaj ini. Bagaimana tidak, sementara beliau berjalan di atasnya (manhaj ini) dalam setiap karya tulis beliau. Simak jawaban beliau dalam kaset no. 850, 23) berikut teks penjelasan beliau :
Pertanyaan : “Pada hakekatnya wahai syaikh kami, teman-teman kita atau para pemuda tersebut telah mengumpulkan berbagai permasalahan yang banyak, di antaranya adalah ucapan mereka (para penganut paham al-muwâzanah) bahwa suatu keharusan bagi barangsiapa yang hendak berbicara tentang seorang ahlul bid’ah yang telah nampak kebid’ahannya serta serangannya terhadap sunnah, atau seseorang yang belum sampai pada tingkat tersebut (kebid’ahannya) tetapi dia telah jatuh pada kesalahan dalam permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, maka tidak boleh seorang pun berbicara tentangnya kecuali apabila menyebutkan juga kebaikan-kebaikan orang (yang dikritik) tersebut. sebuah cara yang mereka sebut dengan kaidah al-muwâzanah antara kebaikan dan kejelekan, dan telah ditulis kitab-kitab/karya-karya yang berbicara tentang permasalahan ini oleh pihak-pihak yang berpendapat dengan ra’yu (logika) bahwa suatu keharusan dalam manhaj generasi awal dalam mengkritik untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekan. Apakah kaidah ini diterapkan secara mutlak atau di sana ada beberapa keadaan yang tidak boleh diterapkan kaidah ini secara mutlak. Kami menginginkan dalam permasalahan ini jawaban yang rinci. Bârakallâhu fîkum (semoga Allah memberimu barakah)?”
Jawab : “Rinciannya adalah : Semua kebaikan terletak pada (sikap) mengikuti manhaj salaf. Apakah dahulu (generasi) salaf melakukan hal itu?!”

Pertanyaan 24) : “Mereka berdalil –semoga Allah menjagamu wahai syaikh kami– dengan beberapa poin, contohnya perkataan a`immah tentang Syi’ah, bahwa si fulan seorang yang tsiqah dalam hal hadits (tapi) dia seorang penganut paham Râfidhah yang jahat. Mereka berdalil dengan beberapa poin ini dan hendak membuat sebuah kaidah secara menyeluruh di atasnya, tanpa memandang kepada beribu-ribu pernyataan yang isinya (si fulan) kadzdzâb (pendusta), matrûk (ditinggalkan), khabîts (jahat)?”25 (… dst) 26)

Adapun pada kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’âh fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ’if yang memuat transkrip tersebut, yaitu yang ada pada saya terbitan Dârul Minhâj – Mesir, bagian yang dipermasalahkan saudara Abduh ZA tersebut juga tertulis dengan rapi dan jelas, sebagai berikut :

ج / التفصيل هو : وكل خير في اتباع من سلف هل كان السلف يفعلون ذلك ؟.

هم يستدلون -حفظك اللـه شيخنا- ببعض المواضع، مثل كلام الأئمة في الشيعة مثلاً فلان ثقة في الحديث رافضي خبيث يستدلون ببعض هذه المواضع ويريدون أن يقيموا عليها القاعدة بكاملها دون النظر إلى الآف من النصوص التي فيها كذاب متروك خبيث ؟!

Perhatikan, dalam transkrip di atas bisa dibedakan dengan jelas, mana ucapan penanya, dan mana jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni v.

Dari keterangan dan penukilan yang saya tampilkan di atas, ada beberapa hal yang bisa dipetik, antara lain :
1. Asy-Syaikh Rabî’ menyebutkan nomor kasetnya dengan tepat, yaitu no. 850.
2. Ini merupakan penukilan Asy-Syaikh Rabî’ yang terdapat di tengah-tengah kitab beliau dengan ada pendahuluan dari beliau sendiri, sekaligus peletakan nomor kaset yang tepat dari beliau, dan ternyata tepat. Demikian juga dengan tanda pemisah yang jelas antara ucapan sang penanya dengan jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni v. Ternyata tidak seperti yang dituduhkan oleh saudara Abduh dalam ucapannya :

“ini adalah perkataan si penanya, tanpa ada pemisah apa pun dari Syaikh Rabi’.”

3. Adapun transkrip yang ada dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ`if terdapat pada bagian muqaddimah kitab tersebut, tertulis dengan rapi dan jelas pula, terbedakan dengan jelas mana ucapan penanya, dan mana jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni v.Itupun tidak pada semua cetakan. Terbukti pada cetakan ke-2 terbitan Dârul Manâr, transkrip tanya jawab tersebut tidak ada.

Kalau pun kita terima memang terdapat kesalahan sebagaimana yang disebutkan oleh saudara Abduh ZA, ” … tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Luqman ini … “, maka perlu diingat bahwa transkrip tersebut terdapat pada bagian muqaddimah kitab tersebut, itupun tidak pada semua cetakan. Sehingga ada kemungkinan bahwa transkrip tersebut bukan Asy-Syaikh Rabî’ sendiri yang meletakkannya. Atau bisa jadi memang Asy-Syaikh Rabî’ sendiri yang meletakkannya, namun terjadi beberapa kesalahan ketik dari pihak pengetik, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya yang bersifat manusiawi. Namun sayangnya saudara Abduh ZA telah mengabaikan kemanusian seorang manusia, suatu sikap yang ia tuduhkan kepada pihak lain.

Kemudian, coba lihat tanggapan sinis saudara Abduh ZA :

“Akan tetapi ada yang ditutup-tutupi di sini (dalam sumber aslinya) oleh Syaikh Rabi’.”

Kenapa? Dijelaskan oleh Abduh ZA :

Sebab, orang yang bertanya tersebut tidak disebutkan identitasnya.

Apa yang ditutupi-tutupi itu? Sayang saudara Abduh ZA tidak menjelaskannya.

Perhatikan, tidak disebutkan nama sang penanya oleh Asy-Syaikh Rabî’ dalam transkripnya ditanggapi dengan sinis dan penuh kecurigaan oleh saudara Abduh ZA serta dengan ucapan yang sangat kasar, tidak santun, dan sangat tidak sopan. Tidak disebutkan nama penanya di sini sebenarnya tidak jadi masalah, karena tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini dan tidak mengurangi sedikit pun esensi makna yang dibahas. Kalau pun itu dianggap sebagai suatu kesalahan, maka inilah yang dinamakan dengan kesalahan yang bersifat manusiawi. Namun kesalahan manusiawi tersebut dinyatakan oleh saudara Abduh “ada yang ditutup-tutupi“. Apakah Abduh ZA pernah membelah dada Asy-Syaikh Rabi’ sehingga ia bisa tahu bahwa dengan tidak disebutkan nama penanya di sini beliau hendak menutup-nutupi sesuatu? Atau apakah Abduh ZA pernah bertemu dan berwawancara langsung dengan beliau menanyakan masalah ini?

Sekaligus ucapan Abduh ZA ini juga mengandung tuduhan kepada Asy-Syaikh Rabî’! Subhânallâh satu kesalahan manusiawi dijadikan sarana oleh Abduh untuk menuduh kejujuran orang lain?! Bahkan dalam hal ini tuduhan atas kejujuran seorang ‘ulama sunnah. Biarlah Allah yang membalas tuduhan keji dari saudara Abduh ZA yang mengaku salafi ini.

Saudara Abduh ZA juga mengatakan :

“Sehingga, bagi yang tidak mendengar langsung kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur, dia akan bingung memenggal kalimatnya. … . Dan, memang akan lebih selamat jika kata-kata atau kalimat tersebut tidak usah diterjemahkan. Sebab, jika si penerjemah langsung menerjemahkan dari buku Syaikh Rabi’ tanpa mendengarkan kasetnya, maka dia akan melakukan kesalahan … .”

Pembaca yang budiman, sebenarnya tidak ada masalah di sini. Dalam MDMTK bagian yang diungkit oleh saudara Abduh di sini memang sengaja tidak dinukil dan diterjemahkan oleh Al-Ustadz Luqman. Untuk itu, beliau memberikan keterangan dalam catatan kaki no. 83 dengan mengatakan :
“Bagian ini sengaja tidak kami terjemahkan untuk meringkas. Bagi yang ingin melihatnya secara lengkapnya, dapat dilihat pada sumber rujukan aslinya. [MDMTK, hal. 137; catatan kaki no. 83].”

Jadi beliau sengaja tidak menerjemahkannya semata-mata karena ingin meringkas. Bukan karena bingung memenggal kalimatnya, seperti tuduhan saudara Abduh ZA. Alhamdulillâh dalam sumber yang dijadikan rujukan oleh Al-Ustadz Luqman 27) tertulis dengan sangat rapi dan jelas. Terpisah secara jelas siapa yang bertanya dan siapa yang ditanya, yaitu tertulis sebagai berikut :

فأجاب الشيخ الألباني: التفصيل هو: وكل خير في اتباع من سلف، هل كان السلف يفعلون ذلك ؟

فقال السائل: هم يستدلون حفظك الله شيخنا ببعض المواضع، مثل كلام الأئمة في الشيعة مثلاً، فلان ثقة في الحديث، رافضي خبيث، يستدلون ببعض هذه المواضع، ويريدون أن يقيموا عليها القاعدة بكاملها دون النظر إلى آلاف النصوص التي فيها كذاب، متروك، خبيث ؟

Perhatikan jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni dibedakan dengan kalimat [ فأجاب الشيخ الألباني (artinya = maka Asy-Syaikh Al-Albâni menjawab ) ], sedangkan ucapan penanya dibedakan dengan kalimat : [ فقال السائل (artinya : Kemudian sang penanya berkata : ) ]

Kalau pun seandainya tidak ada pemisah, misalnya tertulis :

ج : التفصيل هو: وكل خير في اتباع من سلف، هل كان السلف يفعلون ذلك؟ 28) هم يستدلون حفظك الله شيخنا ببعض المواضع، مثل كلام الأئمة في الشيعة مثلا، فلان ثقة في الحديث، رافضي، خبيث، يستدلون ببعض هذه المواضع، ويريدون أن يقيموا عليها القاعدة بكاملها دون النظر إلى آلاف النصوص التي فيها كذاب، متروك، خبيث؟ 29

ج: هذه طريقة المبتدعة حينما

Tetap bisa dipahami bahwa kalimat : هم يستدلون حفظك الله شيخنا ببعض المواضع، ( artinya : Mereka berdalil –semoga Allah menjagamu wahai syaikh kami– dengan beberapa poin … .) … dst, merupakan ucapan/pertanyaan sang penanya. Sebab kalau kita perhatikan, jelas konteks kalimat tersebut adalah sedang mengajak bicara Asy-Syaikh Al-Albâni. Berarti bisa dipahami itu merupakan ucapan sang penanya. Orang yang membaca ini –tidak perlu mendengar kasetnya secara langsung– akan paham bahwa itu merupakan perkataan sang penanya.

Kalau mau proporsional, kenapa saudara Abduh ZA mempersoalkan kalimat yang memang sengaja tidak dinukil dan tidak diterjemahkan oleh Al-Ustadz Luqman, dan telah diterangkan sendiri oleh beliau bahwa alasannya adalah semata-mata karena hendak menyingkat. 30) Sekali lagi ada apa Abduh menyinggung-nyinggung dan masuk menyoal hal ini? Ini adalah sebuah pertanyaan yang penting untuk diketahui. Jawabannya silakan ditanyakan langsung kepada saudara Abduh ZA. Lebih anehnya, kenapa Abduh ZA mengaitkannya dengan buku Asy-Syaikh Rabî’, padahal jelas-jelas Al-Ustadz Luqman tidak merujuk kepada buku beliau dalam menyebutkan transkrip tanya jawab tersebut? Bukankah apa yang dilakukan saudara Abduh ZA ini merupakan perbuatan mencari-cari kesalahan? Hal ini sekaligus menunjukkan rupanya ada kebencian yang besar pada diri saudara Abduh terhadap Asy-Syaikh Rabî’. 31)

Semakin membuktikan hal ini, perhatikan kesimpulan terakhir saudara Abduh ZA :

Jadi, sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) di sini pada diri Syaikh Rabi’, dimana beliau hanya menukil perkataan Abul Hasan saja tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya. 32)
[Cetak tebal dari saya]

Ini lebih aneh lagi dari yang sebelumnya. Hanya gara-gara tidak menyebutkan nama sang penanya ia memvonis orang lain -bahkan seorang ‘ulama- tidak adil atau tidak jujur. Lâhaula walâ Quwwata illâ billâh … Mungkin, ini salah satu praktik tuduh-menuduh dan menjatuhkan orang lain (’ulama) versi Abduh ZA.

Sejak kapan orang tidak menyebut nama sang penanya dinyatakan tidak adil atau tidak jujur? Dalam fatwa Asy-Syaikh Bin Bâz v yang dinukil oleh saudara Abduh ZA dalam BAUS hal. 147, disebutkan di situ :

Pertanyaan: Beberapa minggu yang lalu, Anda mengeluarkan sebuah penjelasan … . Maka, apakah pendapat Anda dalam hal ini? (Penanya: ‘a. f. ‘a)”

Di akhir penukilan saudara Abduh menyebut sumbernya dari Majmu’ Fatawa Al-’Allamah ‘Abdil ‘Aziz bin Baz rahimahullah/Penyusun: Ustadz Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir/Soal nomor 43 … .33 )
Perhatikan, nama penanya tidak disebut secara jelas, hanya ditulis inisialnya saja, yaitu ‘a. f. ‘a.

Pada halaman sebelumnya, BAUS halaman 146, dinukil pula pertanyaan kepada Asy-Syaikh Bin Bâz v :
“Ada seseorang yang bertanya kepada Syaikh Al-Allamah Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, “Kita perhatikan bersama, bahwasanya pada akhir-akhir ini ada sebagian penuntut ilmu yang berani menjelek-jelekkan para ulama besar jika para ulama tersebut tidak mengatakan apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, … ” )
Di akhir penukilan saudara Abduh menyebut sumbernya : Lihat; Majmu’ Fatawa Al-’Allamah ‘Abdil ‘Aziz bin Baz rahimahullah/Penyusun: Ustadz Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir/Soal nomor 43 … . 34)

Perhatikan, nama penanya tidak disebutkan, tidak pula inisialnya. Apakah kemudian dinyatakan : sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) pada diri Asy-Syaikh Bin Bâz? Atau : sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) pada diri penyusunnya, yaitu Ustadz Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir? Atau saudara Abduh ZA akan berupaya mencari ‘udzur (alasan) untuknya? Namun hal itu tidak berlaku untuk Asy-Syaikh Rabî, atau pihak-pihak lain, yang ia benci.

Perlu diketahui pula, yang seperti ini pada kitab Majmû’ Fatâwâ Al-’Allâmah ‘Abdil ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh susunan Ustadz Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir sangat banyak, yaitu tidak menyebutkan nama penanya secara jelas.

Rupanya saudara Abduh ZA memang tidak suka dengan sosok Asy-Syaikh Rabî’, sehingga dia terus berupaya untuk memberikan gambaran jelek tentang beliau. Perhatikan kata-kata Abduh ZA dalam menjelekkan beliau :

Abul Hasan ini memang dikenal sebagai salah satu tokoh yang diserang habis-habisan oleh Syaikh Rabi’.

Demikianlah saudara Abduh ZA, dia membahasakan bantahan dan nasehat ilmiah Asy-Syaikh Rabî’ terhadap Abul Hasan Al-Mishri ini sebagai serangan habis-habisan. Hal seperti ini tidak heran jika dilakukan oleh saudara Abduh ZA, bahkan cara demikian sudah ia lakukan dalam STSK. Misalnya, pada STSK hal. 323 catatan kaki no. 625 Abduh mengatakan :

“Dikarenakan sikap Syaikh Rabi’ yang sering menjelek-jelekkan ulama yang tidak sependapat ini, Syaikh Abu Bashir Ath-Thurthusi berkata tentang beliau, ” … Adapun Rabi’ Al-Madkhali, saya tidak melihatnya dalam barisan para ulama dikarena lisannya yangt sering kasar terhadap saudaranya.” ) ”
[STSK, hal. 323]

Cetak tebal dari saya, sekadar menunjukkan akhlaq saudara Abduh ZA ini dalam memilih kata-kata; kasar, bernada menuduh, dan tidak santun. Lebih parahnya hal ini ia lakukan terhadap seorang ‘ulama besar masa ini dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah. 37)

Sungguh hal ini mengingatkan saya pada perkataan Al-Imâm Ahmad v :
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan adanya ahlul ilmi pada setiap zaman fatrah dari para rasul, yang mereka ini mengajak orang yang sesat kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang mereka terima dari manusia. Mereka menghidupkan orang yang telah mati (hatinya) dengan Kitabullah dan menjadikan orang yang buta (akan kebenaran) dapat melihat dengan cahaya Allah . Berapa banyak korban yang dibunuh oleh Iblis telah mereka hidupkan dan berapa banyak orang yang sesat lagi tidak mengerti jalan telah mereka bimbing. Alangkah bagusnya jasa mereka terhadap manusia, namun alangkah jeleknya balasan manusia terhadap mereka. … .”

Juga perkataan Asy-Syaikh Al-Fauzân :
“Yang demikian itu (caci maki terhadap ‘ulama) dalam rangka untuk memisahkan umat dari ‘ulamanya. Sehingga (bila berhasil) akan mudah bagi mereka (ahlul bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran (syubhat) dan kesesatan yang dapat menyesatkan umat dan memecah belah kekuatan mereka. Itulah misi yang mereka inginkan. Maka hendaknya kita waspada.”

Lebih jauh lagi Asy-Syaikh Al-Fauzân menyatakan : “Tidak seorang pun yang melanggar kehormatan para ‘ulama yang istiqamah di atas jalan yang haq, melainkan satu di antara tiga keadaan :
[pertama] Bisa jadi ia seorang munafiq yang telah diketahui kemunafikannya, atau
[kedua] Ia seorang yang fasiq, membenci ‘ulama karena mereka (para ‘ulama tsb) telah mencegahnya dari kefasikan/tindakan fasiq, atau juga
[ketiga] Dia seorang hizbi, sesat, membenci ‘ulama karena ‘ulama’ tersebut tidak mencocoki selera hizbiyyahnya dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.”

Karena itu jangan heran apabila Al-Imâm Abû Hâtim v menegaskan : “Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah melecehkan ahlul atsar (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).”

Memang banyak pihak yang mencela dan melecehkan kehormatan Asy-Syaikh Rabî’. Karena itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimîn v mengatakan ketika membela beliau :

والشيخ ربيع من علماء السنة، ومن أهل الخير، وعقيدته سليمة، ومنهجه قويم. لكن لما كان يتكلم على بعض الرموز عند بعض الناس من المتأخرين وصموه بهذه العيوب

“Asy-Syaikh Rabî’ termasuk ‘ulama sunnah, dan termasuk ahlul khair. Aqidah beliau lurus dan manhajnya teguh. Namun ketika beliau banyak mengkritik kebatilan-kebatilan yang ada pada sebagian orang dari kalagan muta’akh-khirîn, maka mereka pun mencela beliau dengan celaan-celaan tersebut.”39

Kembali kepada permasalahan tidak disebutkannya nama penanya dalam transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni di atas. Sekadar catatan ringan, bahwa kitab An-Nashrul ‘Azîz karya Asy-Syaikh Rabî’ yang memuat transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni bersama seorang penanya, cetakan ke-2 terbit pada tahun 1418 H / 1997 M. Sementara nasehat dan bantahan ilmiah beliau terhadap Abul Hasan Al-Mishri, risalah pertamanya baru beliau tulis pada 14/1/1423 H. Jadi, tidak disebutkannya nama Abul Hasan Al-Mishri oleh Asy-Syaikh Rabî’ pada transkrip tanya jawab tersebut, sebenarnya tidak ada masalah apa-apa.

Pembaca yang budiman,
Dari sini mengingatkan saya dengan apa yang pernah diucapkan oleh saudara Abduh ZA dalam STSK-nya halaman xxiii :

“Untuk itu, sebagai saudara sesama muslim, adalah kewajiban kita semua untuk saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran, yang tentu saja dengan cara yang baik dan santun. Bukan dengan cara mencari-cari dan mengoleksi kesalahan orang atau ulama yang tidak disukai untuk kemudian disebar-luaskan …”

Entah sudah kemana nasehat tersebut, karena di sini jelas-jelas ia sudah melupakannya. Apabila kita perhatikan, permasalahan-permasalahan yang diungkit oleh saudara Abduh ZA dan dijadikan sarana untuk menjatukan orang lain atau ‘ulama hanya karena permasalahan atau kesalahan sepele, yang semestinya –kalau itu dianggap kesalahan– Abduh ZA bisa memaklumi sebagai kesalahan manusiawi. Dan, saya kira setiap orang yang berakal sehat pun pasti memaklumi bahwa hal ini adalah kesalahan manusiawi biasa 40) yang bisa terjadi pada siapapun. Hanya orang-orang yang kesukaan dan kebiasaannya suka mencari-cari kesalahan orang lain sajalah yang mempunyai kelebihan bisa meluangkan waktunya untuk mengurusi hal-hal sepele semacam ini. Adapun orang yang mempunyai prioritas dalam hidupnya, niscaya tidak akan sempat memikirkan dan memperhatikan hal-hal sepele begini.

____________________

1. Dan itu bukan kesalahan. Karena itu merupakan pernyataan yang ilmiah dan ada sandaran serta rujukannya.
2. Ya hanya dari satu catatan kaki dalam MAT, tapi bisa dibuat sedemikian rupa oleh Abduh ZA menjadi masalah besar di STSK!
3. Sekali lagi kalau itu kita terima dikatakan sebagai kesalahan. Namun nyatanya itu bukan kesalahan.
4. Aneh saudara Abduh ini, ada apa dia menghubungkannya dengan buku Asy-Syaikh Rabi’ ini? Al-Ustadz Luqman tidak merujuk kepada kitab tersebut ketika menyebutkan transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni. Jelas-jelas sumber rujukan yang beliau sebutkan adalah Aqwâl ‘Ulamâ‘is Sunnah fi Manhajil Muwâzanât di http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=, bukan dari buku Asy-Syaikh Rabî’.
5. Yang dimaksud saudara Abduh pada halaman sebelumnya adalah pada MDMTK hal. 136. Di situ, tepatnya pada catatan kaki no. 82, Al-Ustadz Luqman menyebutkan sumber rujukannya : “Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ‘if, karya Asy-Syaikh Rabî’ hafizhahullâh hal. 9.” Namun Subhânallâh, ternyata saudara Abduh ini menganggap (menuduh?) Al-Ustadz Luqman tidak menukil langsung dari buku Asy-Syaikh Rabi’ tersebut.
6. Perhatikan kalimat ini, saudara Abduh terus membuat opini bahwa Al-Ustadz Luqman tidak menukil langsung dari kitab karya Asy-Syaikh Rabi’ tersebut.
7. Saya heran dengan saudara Abduh ZA ini. Untuk memastikan saya pun meminjam kitab Manhaju Ahlis Sunnati wal Jamâ’ah fi Naqdir Rijâl wal Kutub wath Thawâ‘if, cetakan yang dipakai oleh Al-Ustadz Luqman, yaitu terbitan Pustaka Dârul Manâr, cetakan ke-2, tahun 1413 H/1993 M. Ternyata pada buku cetakan tersebut, transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni tersebut tidak ada.
8. Alhamdulillâh Al-Ustadz Luqman benar-benar memiliki kitab tersebut. Namun transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni tidak ada di situ. Alhamdulillâh untuk membuka internet juga tidak perlu repot-repot, karena bisa dilakukan dengan mudah.
9. Betul saudara Abduh, bagus atas informasinya. Mestinya kalau mau lebih fair lagi, informasinya anda lengkapi juga wahai Abduh, bahwa pada sumber di internet yang dijadikan rujukan oleh Al-Ustadz Luqman juga disebutkan fatwa para ‘ulama lainnya yang menyebutkan batilnya manhaj Al-Muwâzanah.
10. Bagus atas informasinya. Pembaca sekalian, ini merupakan informasi yang bermanfaat. Namun kalau dipikir, aneh juga saudara Abduh ini, mencari link internet rekaman/kaset Silsilatul Huda wan Nur-nya Asy-Syaikh Al-Albani bisa bahkan bersemangat menginformasikannya kepada para pembaca. Namun mencari bukti/data ucapan klarifikasi Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbâd dia tidak bisa, bahkan berani meragukan validitas datanya. Sungguh-sungguh aneh, … .
11. Arti judul tersebut : Penjelasan Para ‘Ulama Sunnah tentang Manhaj Muwazanah.
12. Atau mungkin karena ada kebencian tersendiri yang sudah sangat mendarah daging pada diri saudara Abduh terhadap Asy-Syaikh Rabî’. Sehingga dia selalu berusaha mencari celah untuk bisa menyinggung beliau untuk kemudian menjatuhkan beliau.
13. Mungkin sebagian pembaca merasa kalimat ini kurang sopan. Mohon ma’af sebelumnya. Namun perlu diketahui, istilah “kurang kerjaan” merupakan istilah yang dipakai saudara Abduh ZA dalam buku BAUS.
14. Yaitu sumber link internet yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman dalam MDMTK
15. Sebenarnya ada komentar dari saudara Abduh ZA. orang kurang kerjaan seperti Abduh ini tentu risih rasanya kalau melewatkan begitu saja ketika ada kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain melalui komentar-komentarnya yang tajam tapi mengada-ada. Komentar tersebut adalah berkenaan nama penulis Al-Ajwibatul Mufîdah ‘an As‘ilatil Manâhijil Jadîdah yang dianggap salah oleh saudara Abduh. Padahal tidak ada yang salah. Tapi biasalah, Abduh …, kurang kerjaan.
16. Dengan Abduh mengomentari hal ini, sebenarnya secara sadar atau tidak sadar dia telah menjadikan hal ini sebagai masalah. Walaupun dia mengatakan : “Tidak begitu masalah apakah mau diterjemahkan atau tidak.” Sebenarnya kalau Abduh jujur dalam ucapannya ini, dia tidak perlu menuliskan catatan kaki ini. Bukankah tidak masalah, lalu buat apa dikomentari? Tapi lihatlah kalimat berikutnya dari saudara Abduh ini. Begitu panjangnya catatan kaki no. 570. Berujung pada kesimpulan : “…, sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) di sini pada diri Syaikh Rabi’, … .”
Inilah yang dinamakan trik, dan karena pandai memutarbalikkan kata-kata maka disebut dengan licik. Ma’af ini bukan bermaksud berkata kasar. Tapi itulah sesungguhnya cara Abduh, ya cara dan perbuatan Abduh itulah sesungguhnya yang kasar.
17. Abduh ZA mulai beralih kepada Asy-Syaikh Rabi’ untuk menuduh beliau. Kata-kata yang digunakan pun sangat kasar dan tidak sopan. Dari mana Abduh ZA ini tahu ada yang ditutup-tutupi oleh Asy-Syaikh Rabi’? apakah dia pernah membelah dari beliau? Atau bertanya langsung kepada beliau?
18. Sebenarnya kalimat ini tidak nyambung dengan kalimat sebelumnya. Apa hubungannya antara tidak disebutkan identitas sang penanya dengan bingung memenggal kalimatnya.
19. Perhatikan pemilihan kata saudara Abduh ini. Dia menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Rabi’ menyerang habis-habisan. Dengan demikian terkesan bahwa Asy-Syaikh Rabi’ suka menjatuhkan pihak lain. Padahal yang dilakukan oleh beliau terhadap Abul Hasan adalah bantahan ilmiah, disebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang ditampakkan oleh Asy-Syaikh Abul Hasan sendiri. Penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak boleh dibiarkan. Apalagi seorang ‘ulama yang bertanggung jawab terhadap agama dan umat, tidak akan bisa tinggal diam terhadap berbagai penyimpangan agama yang terjadi. Bantahan-bantahan ilmiah itu adalah sebagai nasehat, terhadap Abul Hasan secara khusus, kemudian terhadap umat.
20. Kemudian Abduh menyebutkan sembilan judul tersebut.
21. Demikian cara Abduh menjatuhkan keadilan orang lain, dalam hal ini seorang ‘ulama, yaitu Asy-Syaikh Rabi’.
22. An-Nashrul ‘Azîz ‘ala Ar-Raddil Wajîz oleh Asy-Syaikh Rabî’ Al-Madkhali hafizhahullâh /penerbit Maktabah Al-Ghurabâ` Al-Atsariyyah/cetakan ke-2/tahun 1418 H – 1997 M.
23. Perhatikan nomor kaset yang beliau sebutkan, nomor 850, bukan 855.
24. Bagian inilah sesungguhnya yang dipermasalahkan oleh saudara Abduh ZA dengan ucapannya,
Karena di dalam buku Syaikh Rabi’ tersebut tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Asy-Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Luqman ini

Pembaca bisa membuktikan sendiri apakah ucapan saudara Abduh tersebut benar atau salah. Perhatikan, Asy-Syaikh Rabî’ hafizhahullâh memberikan pemisah dan tanda yang jelas dalam memisahkan jawaban Asy-Syaikh Al-Albâni dengan kalimat berikutnya yang merupakan ucapan sang penanya.
25. Pertanyaan ini dan pertanyaan sebelumnya, sengaja tidak diterjemahkan oleh Al-Ustadz Luqman dalam MDMTK, semata-mata karena hendak menyingkat. Sebenarnya pertanyaan ini isinya justru mendukung beliau. Karena dengan pertanyaan ini semakin menegaskan akan kebatilan manhaj al-muwâzanah.
26. Ma’af, bagian selanjutnya sengaja tidak saya terjemahkan. Karena yang terkait langsung dengan masalah yang diungkit oleh saudara Abduh ZA sudah bisa terjawab dengan cukup jelas sampai di sini.
27. Perlu diingat, bahwa ketika menukil transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni dari sumber di internet, yaitu Aqwal ‘Ulama‘is Sunnah fi Manhajil Muwazanat di http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=, bukan buku Asy-Syaikh Rabî’.
28. Ini jawaban Asy-Syaikh Al-Albani. Jawaban ini berakhir dengan tanda tanya, karena memang beliau v bertanya balik kepada sang penanya. Adapun kalimat setelah ini merupakan ucapan sang penanya.
29. Sampai di sini pertanyaan sang penanya.
30. Bahkan sebenarnya, pertanyaan tersebut jika diterjemahkan justru mendukung Al-Ustadz Luqman. Karena pertanyaan tersebut menegaskan pertanyaan sebelumnya.
31. Kami menyadari hal ini, karena rata-rata orang yang berpaham IM, semacam saudara Abduh ZA, memang sangat membenci Asy-Syaikh Rabî’.
32. Tampaknya saudara Abduh ZA ini hendak mengesankan kepada para pembaca bahwa Asy-Syaikh Rabî’ tidak adil dan tidak jujur. Apa alasannya? Yang diungkit dan dijadikan alasan adalah masalah sepele, yaitu ketika Asy-Syaikh Rabî’ tidak menyebutkan nama si penanya dalam transkrip tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-Albâni.
33. Lihat Baus hal. 149, catatan kaki no. 385.
34. Kalau di sini saudara Abduh ZA berani menjatuhkan Asy-Syaikh Rabî’. Hendaknya saudara Abduh ZA memperhatikan jawaban dan nasehat dari Asy-Syaikh Bin Bâz v yang ia nukil sendiri dalam BAUS-nya hal. 146-147.
35. Lihat Baus hal. 147, catatan kaki no. 381.
36. Sungguh ini adalah tuduhan, parahnya dengan entengnya Abu Bashir Ath-Thurthusi ini melecehkan Asy-Syaikh Rabî seraya tidak menganggap beliau sebagai ‘ulama. Padahal para ‘ulama besar Ahlus Sunnah masa ini -seperti Asy-Syaikh Bin Bâz, Asy-Syaikh Al-’Utsaimîn, Asy-Syaikh Al-Albâni, Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin, serta masih banyak lagi- memuji dan mengakui keilmuan dan keshalihan Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali serta mengakui kapasitas beliau sebagai seorang ‘ulama.
37. Ma’af, saya tidak bermaksud berlebihan atau mengkultuskan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullâh. Namun saya sekadar menunjukkan hakekat sebenarnya. Karena demikianlah sesungguhnya pengakuan para ‘ulama besar ahlus sunnah lainnya terhadap Asy-Syaikh Rabî’. Para ‘ulama biasa memuji satu sama lain –terutama para ‘ulama yang lebih senior terhadap sesamanya yang lebih muda– sebagai satu bentuk pengakuan atas keilmuan dan keshallihannya serta kapasitasnya sebagai ‘ulama.
38. Perkataan Al-Imâm Ahmad, Asy-Syaikh Al-Fauzân, dan Al-Imâm Abû Hâtim saya nukil dari MAT, masing-masing hal. 112, 298-299, 297/cet. I.
39. Lihat Ats-Tsanâ`ul Badî’ Minal ‘Ulamâ` ‘ala Asy-Syaikh Rabî’
40. Sekali lagi kalau itu dianggap kesalahan. Dan, pembaca telah menyaksikan sendiri, bahwa hal-hal yang diungkit oleh Abduh ZA sebenarnya bukan kesalahan.

Sumber: http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=42

Tinggalkan komentar