Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari |
Setiap muslim pastilah mengetahui bahwa ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu rukun dari lima rukun agamanya. Dan kini, bulan pelaksanaan haji telah menjelang. Jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia akan membanjiri tanah suci yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Ucapan talbiyah menyambut panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala terluncur dari lisan tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala.لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.” وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran: 97) فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ “Bertanyalah kalian kepada ahludz dzikr (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak tahu.” (An-Nahl: 43) Hadits-hadits Dhaif Berkaitan dengan Ibadah Haji الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِئَةِ أَهْلِ بَيْتٍ -أَوْ قَالَ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ- “Orang yang berhaji akan memberi syafaat kepada 400 orang ahlu bait –atau Nabi mengatakan: 400 orang dari ahlu bait (keluarga)nya–.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5091) حُجُّوا تَسْتَغْنُوْا… “Berhajilah kalian niscaya kalian akan merasa berkecukupan.…” (Al-Imam Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/83. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3480) حُجُّوا، فَإِنَّ الْحَجَّ يَغْسِلُ الذُّنُوْبَ كَمَا يَغْسِلُ الْمَاءُ الدَّرَنَ “Berhajilah kalian, karena sesungguhnya haji itu mencuci dosa-dosa sebagaimana air mencuci kotoran.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Abul Hajjaj Yusuf bin Khalil dalam As-Saba’iyyat, 1/18/1. Lihat Ad-Dha’ifah no. 542) حَجَّةٌ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ، وَغَزْوَةٌ لِمَنْ حَجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ حُجَجٍ… “(Menunaikan ibadah) haji bagi orang yang belum berhaji itu lebih baik daripada sepuluh peperangan. Dan (ikut serta dalam) peperangan bagi orang yang telah berhaji itu lebih baik daripada sepuluh haji….” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, 27/117/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1230) إِذَا لَقِيْتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ، وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَإِنَّهُ مَغْفُوْرٌ لَهُ “Apabila engkau bertemu dengan seorang haji, ucapkanlah salam padanya dan jabatlah tangannya, serta mohonlah padanya agar memintakan ampun bagimu sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, karena orang yang berhaji itu telah diampuni.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ahmad, 2/69 dan 128, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin, 2/265, Abusy Syaikh dalam At-Tarikh, hal. 177. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2411) مَنْ مَاتَ فِي هذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ، لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ، وَقِيْلَ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ “Siapa yang meninggal dalam sisi ini, baik ia berhaji atau berumrah, niscaya amalnya tidak dipaparkan kepadanya dan tidak akan dihisab. Dan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga.’” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, 288. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2187) الْحَاجُّ فِي ضَمَانِ اللهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا، فَإِنْ أَصَابَهُ فِي سَفَرِهِ تَعْبٌ أَوْ نَصَبٌ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِذلِكَ سَيِّئَاتِهِ، وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ قَدَمٍ يَرْفَعُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَبِكُلِّ قَطْرَةٍ تُصِيْبُهُ مِنْ مَطَرٍ أَجْرُ شَهِيْدٍ “Orang yang berhaji itu dalam tanggungan/jaminan Allah ketika datang maupun pulangnya. Bila dia tertimpa kepayahan atau sakit dalam safarnya, Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan setiap telapak kaki yang ia angkat untuk melangkah, ia dapatkan seribu derajat. Dan setiap tetesan hujan yang menimpanya, ia dapatkan pahala orang yang mati syahid.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/98. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3500) خَيْرُ مَا يَمُوْتُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ قَافِلاً مِنْ حَجٍّ أَوْ مُفْطِرًا مِنْ رَمَضَانَ “Sebaik-baik keadaan meninggalnya seorang hamba adalah ia meninggal dalam keadaan pulang dari menunaikan ibadah haji atau dalam keadaan berbuka dari puasa Ramadhan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami 2/114. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3583) 2. Keutamaan berhaji yang disertai menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنْ حَجَّ حَجَّةَ اْلإِسْلاَمِ، وَزَارَ قَبْرِي وَغَزَا غَزْوَةً وَصَلَّى عَلَيَّ فِي الْمَقْدِسِ، لَمْ يَسْأَلْهُ اللهُ فِيْمَا افْتَرَضَ عَلَيْهِ “Siapa yang berhaji dengan haji Islam yang wajib, menziarahi kuburku, berperang dengan satu peperangan dan bershalawat atasku di Al-Maqdis, maka Allah tidak akan menanyainya dalam apa yang Allah wajibkan kepadanya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’/palsu, disebutkan oleh As-Sakhawi dalam Al-Qaulul Badi’, hal. 102. Lihat Adh-Dha’ifah no. 204)2 مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي، كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي “Siapa yang berhaji, lalu ia menziarahi kuburku setelah wafatku, maka dia seperti orang yang menziarahiku ketika hidupku.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3/203/2, dan Al-Ausath, 1/126/2. Diriawayatkan pula oleh yang selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 47)3 3. Haji dilaksanakan sebelum menikah الْحَجُّ قَبْلَ التَّزَوُّجِ “Haji itu dilaksanakan sebelum menikah.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir. Lihat Adh-Dha’ifah no. 221) مَنْ تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ بِالْمَعْصِيَةِ “Siapa yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia telah memulai dengan maksiat.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, 20/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 222) 4. Banyak berhaji mencegah kefakiran كَثْرَةُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ “Banyak melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Al-Muhamili. Lihat Adh-Dha’ifah no. 477) 5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji لاَ يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ النَّارِ بَحْرًا “Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau berumrah atau orang yang berperang di jalan Allah, karena di bawah lautan itu ada api dan di bawah api ada lautan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/389, Al-Khathib dalam At-Talkhis, 78/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 478) 6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha مَنْ أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، أَوْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ “Siapa yang ber-ihlal4 haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, atau diwajibkan surga baginya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/275, Ibnu Majah, 2/234-235, Ad-Daraquthni, hal. 289, Al-Baihaqi, 5/30, dan Ahmad, 6/299. Lihat Adh-Dha’ifah no. 211) 7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي “Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka sungguh ia telah berbuat jafa` (kasar) kepadaku.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian dikatakan Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh Ash-Shaghani dalam Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula Az-Zarkasyi dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 42. Lihat Adh-Dha’ifah no. 45) 8. Keutamaan menghajikan orang tua مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ اللهُ لَهُ عِتْقًا مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ حَجَّةِ تَامَّةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ “Siapa yang menghajikan kedua orang tuanya setelah keduanya wafat maka Allah akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan bagi yang dihajikan akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa mengurangi pahala orang yang menghajikan sedikitpun.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Ashbahani dalam At-Targhib. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5677) إِذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ وَمِنْهُمَا، وَاسْتُبْشِرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ اللهِ بَرًّا “Apabila seseorang menghajikan kedua orang tuanya maka akan diterima amalan itu darinya dan dari kedua orang tuanya, dan diberi kabar gembira ruh keduanya di langit dan ia (si anak) dicatat di sisi Allah sebagai anak yang berbakti (berbuat baik kepada orang tua).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam, As-Sunan, 272, Ibnu Syahin dalam At-Targhib, 299/1 dan Abu Bakr Al-Azdi Al-Mushili dalam Hadits-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1434) 9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki إِنَّ لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ “Sesungguhnya orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan 70 kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya. Sementara orang yang berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap langkah yang ia langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/15/2, dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah, 204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5 10. Keutamaan thawaf مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari dosa-dosanya sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5102) طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً “Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di dalamnya sebanding dengan membebaskan budak.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali), diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035) 11. Hari Arafah عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ “Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93, Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami 2/292. Lihat Ad-Dha’ifah no. 3863) 1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika membacanya benar-benar menenangkan hati kami (karena tepat dan telitinya penghukuman beliau terhadap hadits, pen.).” |
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=387