Pendapat Al-Imam Syafi’i tentang Mengirimkan Pahala Bacaan Al-Fatihah kepada Mayit


Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.

Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal.

Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.”
Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ
“Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.”
Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)
Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39)

1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah, lafadz di atas adalah lafadz Ahmad. Niyahah atau meratapi mayit, telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan keras dan termasuk dosa besar, karena pelakunya telah diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits:
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit) bila tidak bertaubat sebelum matinya maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (secara merata).” (Shahih, HR. Muslim)

Tinggalkan komentar